6. ASURANSI JIWA
1. Sumber :
hukumasuransi.blogspot.com
Judul : Hukum Asuransi
Penulis : Diposkan oleh
catatan kampus unhalu
Diunduh : Rabu, 10 Des 2014
2.1 Pengertian Asuransi Jiwa
1. Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1992
Dalam Undang Nomor 2 Tahun 1992, dirumuskan
definisi asuransi yang lebih lengkap jika dibandingkan dengan rumusan yang
terdapat dalam Pasal 246 KUHD. Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1)
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992:
“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian
antara 2 (dua) pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri
kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian
kepada tertanggung karena kerugian kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan atau taggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan
diderita tertanggung, yang timbul dan suatu peristiwa tidak pasti atau untuk
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas rneninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan.
Ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1992 ini mencakup 2 (dua) jenis asuransi, yaitu:
a. Asuransi kerugian (loss
insurance), dapat diketahul dan rumusan:
“untuk memberikan penggantian kepada tertanggung
karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang dmarapkan, atau
tanggung jawab hukuin kepada pihak ket/ga yang rnungkin ahan diderita oleh
terlanggung”.
b. Ansuransi jumlah (sum
insurance), yang meliputi asuransi jiwa dan asuransi sosial, dapat diketahui
dari rumusan:
“untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan
atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.”
Dalam hubungannya dengan asuransi jiwa maka fokus
pembahasan diarahkan pada jenis asuransi, butir (b). Apabila Pasal 1 angka (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 di persempit hanya melingkupi jenis asuransi
jiwa, maka urusannya adalah:
“Asuransi jiwa adalah perjanjian, antara 2 (dua)
pihak atau lebih dengan mana pihak Penanggung mengikatkan diri kepada
tertanggung dengan menerima premi untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan
atas meninggal atau hidupnya seseorang yang diasuransikan.”
Definisi inilah yang akan dijadikan titik tolak
pembahasan asuransi jiwa selanjutnya.
Sebelum berlakunya Undang Nomor 2 Tahun 1992,
asuransi jiwa diatur dalam Ordonantie op het Levensverzekering Bedrijf
(Staatsblad Nomor 101 Tahun 1941). Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf
Ordonansi tersebut:
“Ovoroenkomstem van levensvorzekering de
overeenkomsten tot het doon van geldelijke uitkeringen, tegen genot van premie
en in verband met het leven of den dood van den menschs. Overeenkomsten van
herverzekering daaronder begrepen, met dien verstande, dat overeenkomsten van
ongevallenverzokerinq niet als overeenkomsten van levensverzekerinq worden
berschouwd”.
Terjemahnnnya.
“Asuransi jiwa adalah perjanjian untuk membayar
sejumlah uang karena telah diterimanya premi yang herhubungan dengan hidup atau
matinya seseorang, rensuransi termasuk di dalamnya, sedangkan asuransi
kecelakaan tidak termasuk dalam asuransi jiwa”.
Dalam Pasal 27 Undang Nomor 2 Tahun 1992 ditentukan
bahwa dengan berlakunya undang-undang ini, maka Ordonantie op het Levens
Verzekering Bedrijf dinyatakan tidak berlaku lagi. Adapun yang dimaksud dengan
‘undang-undang ini’ adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992. Oleh karena itu,
tidak perlu lagi membahas asuransi jiwa berdasarkari Ordonansi ini karena sudah
tidak berlaku lagi, dan pengertian asuransi jiwa sudah tercakup dalam Pasal 1
angka (1) nomor 2 Undang-Undang Tahun 1992.
2. Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (KUHD)
Dalam KUHD asuransi jiwa diatur dalam Buku 1 Bab X pasal 302. pasal 308
KUHD. Jadi hanya 7 (tujuh) pasa. Akan tetapi tidak 1 (satu) pasalpun yang
memuat rumusan definisi asuransi jiwa. Dengan demikian sudah tepat jlka
definisi asuransi dalam Pasat 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
dijadikan titik totak pembahasan dan ini ada hubungannya dengan ketentuan Pasal
302 dan Pasal 303 KUHD yang membolehkan orang mengasuransikan jiwanya.
Menurut ketentuan Pasal 302 KUHD:
“Jiwa seseorang dapat diasuransikan untuk keperluan
orang yang berkepentingan, baik untuk selama hidupnya maupun untuk waktu yang
ditentukan dalam perjanjian”.
Selanjutnya, dalam Pasal 303 KUHD ditentukan:
“Orang yang berkepentingan dapat mengadakan
asuransi itu bahkan tanpa diketahui atau persetujuan orang yang diasuransikan
jiwanya”.
Berdasarkan kedua pasal tersebut, jelaslah bahwa
setiap orang dapat mengasuransikan jiwanya, asuransi jiwa bahkan dapat diadakan
untuk kepentingan pihak ketiga. Asuransi jiwa dapat diadakan selama hidup atau
selama jangka waktu tertentu yang dtetapkan dalam perjanjian.
Sehubungan dengan uraian pasal-pasal
perundang-undangan di atas, Purwosutjipto memperjelas lagi pengertian asuransi
jiwa dengan mengemukakan definisi:
“Pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal balik
antara penutup (pengambil) asuransi dengan penanggung, dengan mana penutup
(pengambil) asuransi mengikatkan diri selama jalannya pertanggungan membayar
uang premi kepada penanggung, sedangkan penanggung sebagai akibat langsung dan
meninggalnya orang yang jiwanya dipertanggungkan atau telah lampaunya suatu
jangka waktu yang diperjanjikan, mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang
tertentu kepada orang yang ditunjuk oleh penutup (pengambil) asuransi sebagai
penikmatnya”.
Dalam rumusan definisinya, Purwosutjipto menggunakan
istilah “penutup (pengambil) asuransi dan penangung.
Definisi Purwosutjipto berbeda dengan definisi yang
terdapat dalam Pasal angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1 92. Perbedaan
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1992 dengan tegas di nyatakan bahwa pihak-pihak yang mengikatkan diri secara
timbal balik itu disebut penanggung dan tertanggung, sedangkan Purwosutjipto
menyebutnya penutup (pengambil) asuransi dan penanggung.
b. Dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1992 dinyatakan bahwa “penanggung dengan menerima premi memberikan
pembayaran”, tanpa menyebutkan kepada orang yang ditunjuk sebagai penikmnya.
Purwosutjipto menyebutkan membayar l orang yang ditunjuk oleh penutup
(pengambil) asuransi sebagai penikmatnya. Kesannya hanya untuk asuransi jiwa
selama hidup, tidak termasuk untuk yang berjangka waktu tertentu.
2.2 Polis Asuransi jiwa
Bentuk dan isi Polis
Sesuai dengan ketentuan Pasal 255 KUHD, asruransi
jiwa harus diadakan secara tertulis dengan bentuk akta yang disebut polis.
Menurut ketentuan pasal 304 KUHD, polis asuransi jiwa memuat:
a. Hari diadakan asuransi;
b. Nama tertanggung;
c. Nama orang yang jiwanya
diasuransikan;
d. Saat mulai dan berakhirnya
evenemen;
e. Jumlah asuransi;
f. Premi asuransi.
Akan tetapi, mengenai rancangan jumlah dan
penentuan syarat-syarat asuransi sama sekali bergantung pada persetujuan antara
kedua pihak (Pasal 305 KUHD).
a. Hari diadakan asuransi
Dalam polis harus dicantumkan hari dan tanggal
diadakan asuransi. Hal ini penting untuk mengetahui kapan asuransi itu mulai
berjalan dan dapat diketahui pula sejak hari dan tanggal itu risiko menjadi
beban penanggung.
b. Nama tertanggung
Dalam polis harus dicantumkan nama tertanggung
sebagai pihak yang wajib membayar premi dan berhak menerima polis. Apabila
terjadi evenemen atau apabila jangka waktu berlakunya asuransi berakhir,
tertanggung berhak menerima sejumlah uang santunan atau pengembalian dari
penanggung. Selain tertanggung, dalam praktik asuransi jiwa dikenal pula
penikmat (beneficiary). yaitu orang yang berhak menerima sejumlah uang tertentu
dan penanggung karena ditunjuk oleh tertanggung atau karena ahli warisnya, dan
tercantum dalam polis. Penikmat berkedudukan sebagai pihak ketiga yang
berkepentingan.
c. Nama orang yang jiwanya diasuransikan
Objek asuransi jiwa adalah jiwa dan badan manusia
sebagai satu kesatuan. Jiwa tanpa badan tidak ada, sebaliknya badan tanpa jiwa
tidak ada arti apa-apa bagi asuransi Jiwa. Jiwa seseorang merupakan objek
asuransi yang tidak berwujud, yang hanya dapat dlkenal melalui wujud badannya.
Orang yang punya badan itu mempunyai nama yang jiwanya diasuransikan, baik
sebagai pihak tertanggung ataupun sebagai pihak ketiga yang berkepentingan.
Namanya itu harus dicantumkan dalam polis. Dalam hal ini, tertanggung dan orang
yang jiwanya diasuransikan itu berlainan.
d. Saat mulai dan berakhirriya
evenemen
Saat mulai dan berakhirnya evenemen merupakan
jangka waktu berlaku asuransi. artinya dalam jangka waktu itu risiko menjadi
beban penanggung, misalnya mulai tanggal 1 januari 1990 sampai tanggal 1
Januari 00, apabila dalam jangka waktu itu terjadi evenemen, maka penanggung
berkewajiban membayar santunan kepada tertanggung atau orang yang ditunjuk
sebagai penikmat (beneficiary).
Jumlah Asuransi
Jumlah asuransi adalah sejumlah uang tertentu yang
diperjanjikan pada saat diadakan asuransi sebagai jumlah santunan yang wajib
dibayar oleh penanggung kepada penikmat dalam hal terjadi evenemen, atau
pengembalian kepada tertanggung sendiri dalam hal berakhirnya jangka waktu
asuransi tanpa terjadi evenemen. Menurut ketentuan Pasal 305 KUHD, perkiraan
jumlah dan syarat-syarat asuransi sama sekali ditentukan oleh perjanjian bebas
antara tertanggung dan penanggung. Dengan adanya perjanjian bebas tersebut,
asas kepentingan dan asas keseimbangan alam.asuransi jiwa dikesampingkan.
Premi Asuransi
Premi asuransi adalah sejumlah uang yang wajib
dibayar oleh tertanggung kepada penanggung setiap jangka waktu tertentu,
biasanya setiap bulan selama asuransi berlangsung. Besarnya jumlah premi
asuransi tergantung pada jumlah asuransi yang disetujui oleh tertanggung pada
saat diadakan asuransi.
Penanggung, Tertanggung,
Penikmat
Dalam hukum asuransi minimal terdapat 2 (dua)
pihak, yaitu penanggung dan tertanggung. Penanggung adalah pihak yang
menanggung beban risiko sebagai imbalan premi yang diterimanya dari
tertanggung. Jika terjadi evenemen yang menjadi beban penanggung, maka
penanggung berkewajiban mengganti kerugian. Dalam asuransi jiwa, jika terjadi
evenemen matinya tertanggung, maka penanggung wajib membayar uang santunan,
atau jika berakhirnya jangka waktu usuransi tanpu terjadi evenemen, maka
penanggung wajib membayar sejumlah uang pengembalian kepada tertanggung.
Penanggung adaiah Perusahaan Asuransi Jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulanggan
risiko yang dikaitkan dengan hidup atau matinya seseorang yang diasuransikan.
Perusahaan Asuransi Jiwa merupakan badan hukum milik swasta atau badan hukum
milik negara.
Asuransi dapat juga diadakan untuk kepentingan
pihak ketiga dan ini harus dicantumkan dalam polis. Menurut teori kepentingan
pihak ketiga (the third party interest theory), dalam asuransi jiwa, pihak
ketiga yang berkepentingan itu disebut penikmat. Penikmat ini dapat berupa
orang yang ditunjuk oieh tentanggung atau ahli waris tertanggung. Munculnya
penikmat ini apabila terjadi evenemen meninggalnya tertanggung. Dalam hal ini,
tertanggung yang meninggal itu tidak mungkin dapat menikmati santunan, tetapi
penikmat yang ditunjuk atau ahli waris tertanggunglah sebagai yang berhak menikmati
santunan. Akan tetapi, bagaimana halnya jika asuransi itu berakhir tanpa
terjadi evenemen meninggalnya tertanggung?. Dalam hal ini tertanggung sendiri
yang berkedudukan sebagai penikmat karena dia sendiri masih hidup dan berhak
menikmati pengembalian sejumlah uang yang dibayar oleh penanggung.
Apabila tertanggung bukan penikmat, maka hal ini
dapat disamakan dengan asuransi jiwa untuk kepentingan pihak ketiga. Penikmat
selaku pihak ketiga tidak mempunyai kewajiban membayar premi terhadap
penanggung. Asuransi diadakan untuk kepentingannya, tetapi tidak atas tanggung
jawabnya. Apabila tertanggung mengasuransikan jiwanya sendiri, maka tentanggung
sendiri berkedudukan sebagai penikmat yang berkewajiban membayar premi kepada
penanggung. Dalam hal ini tertanggung adalah pihak dalam asuransi dan sekaligus
penikmat yang berkewajiban membayar premi kepada penanggung. Asuransi jiwa
untuk kepentingan pihak ketiga (penikmat) harus dicantumkan dalam polis.
2.3 Evenemen Dan Santunan
1. Evenemen dalam Asuransi Jiwa
Dalam Pasal 304 KUHD yang mengatur tentang isi
polis, tidak ada ketentuan keharusan mencantumkan evenemen dalam polis asuransi
jiwa berbeda dengan asuransi kerugian, Pasal 256 ayat (1) KUHD mengenai isi
polis mengharuskan Pencantuman bahaya-bahaya yang menjadi beban penanggung.
Mengapa tidak ada keharusan mencantumkan bahnya yang menjadi beban penanggung
dalam polis asuransi jiwa?. Dalam asuransi jiwa yang dimaksud dengan hahaya
adalah meninggalnya orang yang jiwanya diasuransikan. Meninggalnya seseorang itu
merupakan hal yang sudah pasti, setiap makhluk bernyawa pasti mengalami
kematian. Akan tetapi kapan meninggalnya seseorang tidak dapat dipastikan.
lnilah yang disebut peristiwa tidak pasti (evenemen) dalam asuransi jiwa.
Evenemen ini hanya 1 (satu), yaitu ketidak pastian
kapan meniggalnya seseorang sebagai salah satu unsur yang dinyatakan dalam
definisi asuransi jiwa. Karena evenemen ini hanya 1 (satu), maka tidak perlu di
cantumkan dalam polis. Ketidakpastian kapan meninggalnya seorang tertanggung
atau orang yang jiwanya diasuransikan merupakan risiko yang menjadi beban
penanggung dalam asuransi jiwa. Evenemen meninggalnya tertanggung itu bersisi 2
(dua), yaitu meninggalnya itu benar-benar terjadi dalam jangka waktu asuransi,
dan benar-benar tidak terjadi sampai jangka waktu asuransi berakhir.
Kedua-duanya menjadi beban penanggung.
2. Uang Santunan dan Pengembalian
Uang santunan adalah sejumlah uang yang wajib
dibayar oleh penanggung kepada penikmat dalam hal meninggalnya tertanggung
sesuai dengan kesepakatan yang tercantum dalam polis. Penikmat yang di maksud
adalah orang yang ditunjuk oleh tertanggung atau orang yang menjadi ahli
warisnya sebagai yang berhak menerima dan menikmati santunan sejumlah uang yang
dibayar oleh penanggung. Pembayaran santunan merupakan akibat terjadinya
peristiwa, yaitu meninggalnya tertanqgung dalam jangka waktu berlaku asuransi
jiwa.
Akan tetapi, apabila sampai berakhirnya jangka
waktu asuransi jiwa tidak terjadi peristiwa meninggalnya tertanggung, maka
tertanggung sebagai pihak dalam asuransi jiwa, berhak memperoleh pengembalian
sejumlah uang dan penanggung yang jumlahnya telah ditetapkan berdasarkan
perjanjian dalam hal ini terdapat perbedaan dengan asuraransi kerugian. Pada
asuransi kerugian apabila asuransi berakhir tanpa terjadi evenemen, premi tetap
menjadi hak penanggung, sedangkan pada asuransi jiwa, premi yang telah diterima
penanggung dianggap sebagai tabungan yang dikembalikan kepada penabungnya,
yaitu tertanggung.
2.4 Asuransi Jiwa Berakhir
1. Karena Terjadi Evenemen
Dalam asuransi jiwa, satu-satunya evenemen yang
menjadi beban penanggung adalah meninggalnya tertanggung. Terhadap evenemen
inilah diadakan asuransi jiwa antara tertanggung dan penanggung. Apabila dalam
jangka waktu yang diperjanjikan terjadi peristiwa meninggalnya tertanggung,
maka penanggung berkewajiban membayar uang santunan kepada penikmat yang
ditunjuk oleh tertanggung atau kepada ahli warisnya. Sejak penanggung melunasi
pembayaran uang santunan tersebut, sejak itu pula asuransi jiwa berakhir.
Apa sebabnya asuransi jiwa berakhir sejak pelunasan
uang santunan, bukan sejak meninggalnya tertanggung (terjadi evenemen)? Menurut
hukum perjanjian, suatu perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak berakhir
apabila prestasi masing-masing pihak telah dipenuhi. Karena asuransi jiwa
adalah perjanjian, maka asuransi jiwa berakhir sejak penanggung melunasi uang
santunan sebagai akibat dan meninggalnya tertanggung. Dengan kata lain,
asuransi jiwa berakhir sejak terjadi evenemen yang diikuti dengan pelunasan
klaim.
2. Karena Jangka Waktu Berakhir
Dalam asuransi jiwa tidak selalu evenemen yang
menjadi beban penanggung itu terjadi bahkan sampai berakhirnya jangka waktu
asuransi. Apabila jangka waktu berlaku asuransi jiwa itu habis tanpa terjadi
evenemen, niaka beban risiko penanggung berakhir. Akan tetapi, dalam perjanjian
ditentukan bahwa penanggung akan mengembalikan sejumtah uang kepada tertanggung
apabila sampai jangka waktu asuransi habis tidak terjadi evenemen. Dengan kata
lain, asuransi jiwa berakhir sejak jangka waktu berlaku asuransi habis diikuti
dengan pengembalan sejumlah uang kepada tertanggung.
3. Karena Asuransi Gugur
Menurut ketentuan Pasal 306 KUHD:
“Apabila orang yang diasuransikan jiwanya pada saat
diadakan asuransi ternyata sudah meninggal, maka asuransinya gugur, meskipun
tertanggung tidak mengetahui kematian tersebut, kecuali jika diperjanjikan
lain”,
Kata-kata bagian akhir pasal ini “kecuali jika
diperjanjiknn lain” memberi peluang kepada pihak-pihak untuk memperjanjikan
menyimpang dari ketentuan pasal ini, misalnya asuransi yang diadakan untuk
tetap dinyalakan sah asalkan tertanggung betul-betul tidak mengetahui telah
meninggalnya itu. Apablia asuransi jiwa itu gugur, bagaimana dengan premi yang
sudah dibayar karena penanggung tidak menjalani risiko? Hal ini pun diserahkan
kepada pihak-pihak untuk memperjanjikannya. Pasal 306 KUHD ini mengatur
asuransi jiwa untuk kepentingan pihak ketiga.
Dalam Pasal 307 KUHD ditentukan:
“Apabila orang yang mengasuransikan jiwanya bunuh
diri, atau dijatuhi hukuman mati, maka asuransi jiwa itu gugur”.
Apakah masih dimungkinkan penyimpangan pasal ini?.
Menurut Purwosutjipto, penyimpangan dari ketentuan ini masih mungkin, sebab
kebanyakan asuransi jiwa ditutup dengan sebuah klausul yang membolehkan
penanggung melakukan prestasinya dalam hal ada peristiwa bunuh diri dan badan
tertanggung asalkan peristiwa itu terjadi sesudah lampau waktu 2 (dua) tahun
sejak diadakan asuransi. Penyimpangan ini akan menjadikan asuransi jiwa lebih
supel lagi.
4. Karena Asuransi Dibatalkan
Asuransi jiwa dapat berakhir karena pembatalan
sebelum jangka waktu berakhir. Pembatalan tersebut dapat terjadi karena
tertanggung tidak melanjutkan pembayaran premi sesuai dengan perjanjian atau
karena permohonan tertanggung sendiri. Pembatalan asuransi jiwa dapat terjadi
sebelum premi mulai dibayar ataupun sesudah premi dibayar menurut jangka
waktunya. Apabila pembatalan sebelum premi dibayar, tidak ada masalah. Akan
tetapi, apabila pembatalan setelah premi dibayar sekali atau beberapa kali
pembayaran (secara bulanan), bagaimana cara penyelesaiannya? Karena asuransi
jiwa didasarkan pada perjanjian, maka penyelesaiannya bergantung juga pada
kesepakatan pihak-pihak yang dicantumkan dalam polis
2. Sumber :
hukumasuransi.blogspot.com
Judul : Asuransi Jiwa
Penulis :
Diposkan oleh catatan kampus unhalu
Diunduh : Rabu, 10 Des 2014
2.1 Pengertian Asuransi Jiwa
1. Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1992
Dalam Undang Nomor 2 Tahun 1992, dirumuskan
definisi asuransi yang lebih lengkap jika dibandingkan dengan rumusan yang
terdapat dalam Pasal 246 KUHD. Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1)
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992:
“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian
antara 2 (dua) pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri
kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian
kepada tertanggung karena kerugian kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan atau taggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan
diderita tertanggung, yang timbul dan suatu peristiwa tidak pasti atau untuk
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas rneninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan.
Ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1992 ini mencakup 2 (dua) jenis asuransi, yaitu:
a. Asuransi kerugian (loss
insurance), dapat diketahul dan rumusan:
“untuk memberikan penggantian kepada tertanggung
karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang dmarapkan, atau
tanggung jawab hukuin kepada pihak ket/ga yang rnungkin ahan diderita oleh
terlanggung”.
b. Ansuransi jumlah (sum
insurance), yang meliputi asuransi jiwa dan asuransi sosial, dapat diketahui
dari rumusan:
“untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan
atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.”
Dalam hubungannya dengan asuransi jiwa maka fokus
pembahasan diarahkan pada jenis asuransi, butir (b). Apabila Pasal 1 angka (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 di persempit hanya melingkupi jenis asuransi
jiwa, maka urusannya adalah:
“Asuransi jiwa adalah perjanjian, antara 2 (dua)
pihak atau lebih dengan mana pihak Penanggung mengikatkan diri kepada
tertanggung dengan menerima premi untuk memberikan suatu pembayaran yang
didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang diasuransikan.”
Definisi inilah yang akan dijadikan titik tolak
pembahasan asuransi jiwa selanjutnya.
Sebelum berlakunya Undang Nomor 2 Tahun 1992,
asuransi jiwa diatur dalam Ordonantie op het Levensverzekering Bedrijf
(Staatsblad Nomor 101 Tahun 1941). Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf
Ordonansi tersebut:
“Ovoroenkomstem van levensvorzekering de
overeenkomsten tot het doon van geldelijke uitkeringen, tegen genot van premie
en in verband met het leven of den dood van den menschs. Overeenkomsten van
herverzekering daaronder begrepen, met dien verstande, dat overeenkomsten van
ongevallenverzokerinq niet als overeenkomsten van levensverzekerinq worden
berschouwd”.
Terjemahnnnya.
“Asuransi jiwa adalah perjanjian untuk membayar
sejumlah uang karena telah diterimanya premi yang herhubungan dengan hidup atau
matinya seseorang, rensuransi termasuk di dalamnya, sedangkan asuransi
kecelakaan tidak termasuk dalam asuransi jiwa”.
Dalam Pasal 27 Undang Nomor 2 Tahun 1992 ditentukan
bahwa dengan berlakunya undang-undang ini, maka Ordonantie op het Levens
Verzekering Bedrijf dinyatakan tidak berlaku lagi. Adapun yang dimaksud dengan
‘undang-undang ini’ adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992. Oleh karena itu,
tidak perlu lagi membahas asuransi jiwa berdasarkari Ordonansi ini karena sudah
tidak berlaku lagi, dan pengertian asuransi jiwa sudah tercakup dalam Pasal 1
angka (1) nomor 2 Undang-Undang Tahun 1992.
2. Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (KUHD)
Dalam KUHD asuransi jiwa diatur dalam Buku 1 Bab X pasal 302. pasal 308
KUHD. Jadi hanya 7 (tujuh) pasa. Akan tetapi tidak 1 (satu) pasalpun yang
memuat rumusan definisi asuransi jiwa. Dengan demikian sudah tepat jlka
definisi asuransi dalam Pasat 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
dijadikan titik totak pembahasan dan ini ada hubungannya dengan ketentuan Pasal
302 dan Pasal 303 KUHD yang membolehkan orang mengasuransikan jiwanya.
Menurut ketentuan Pasal 302 KUHD:
“Jiwa seseorang dapat diasuransikan untuk keperluan
orang yang berkepentingan, baik untuk selama hidupnya maupun untuk waktu yang
ditentukan dalam perjanjian”.
Selanjutnya, dalam Pasal 303 KUHD ditentukan:
“Orang yang berkepentingan dapat mengadakan
asuransi itu bahkan tanpa diketahui atau persetujuan orang yang diasuransikan
jiwanya”.
Berdasarkan kedua pasal tersebut, jelaslah bahwa
setiap orang dapat mengasuransikan jiwanya, asuransi jiwa bahkan dapat diadakan
untuk kepentingan pihak ketiga. Asuransi jiwa dapat diadakan selama hidup atau
selama jangka waktu tertentu yang dtetapkan dalam perjanjian.
Sehubungan dengan uraian pasal-pasal perundang-undangan
di atas, Purwosutjipto memperjelas lagi pengertian asuransi jiwa dengan
mengemukakan definisi:
“Pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal balik
antara penutup (pengambil) asuransi dengan penanggung, dengan mana penutup
(pengambil) asuransi mengikatkan diri selama jalannya pertanggungan membayar
uang premi kepada penanggung, sedangkan penanggung sebagai akibat langsung dan
meninggalnya orang yang jiwanya dipertanggungkan atau telah lampaunya suatu
jangka waktu yang diperjanjikan, mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang
tertentu kepada orang yang ditunjuk oleh penutup (pengambil) asuransi sebagai
penikmatnya”.
Dalam rumusan definisinya, Purwosutjipto
menggunakan istilah “penutup (pengambil) asuransi dan penangung.
Definisi Purwosutjipto berbeda dengan definisi yang
terdapat dalam Pasal angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1 92. Perbedaan
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1992 dengan tegas di nyatakan bahwa pihak-pihak yang mengikatkan diri
secara timbal balik itu disebut penanggung dan tertanggung, sedangkan
Purwosutjipto menyebutnya penutup (pengambil) asuransi dan penanggung.
b. Dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1992 dinyatakan bahwa “penanggung dengan menerima premi memberikan
pembayaran”, tanpa menyebutkan kepada orang yang ditunjuk sebagai penikmnya.
Purwosutjipto menyebutkan membayar l orang yang ditunjuk oleh penutup
(pengambil) asuransi sebagai penikmatnya. Kesannya hanya untuk asuransi jiwa
selama hidup, tidak termasuk untuk yang berjangka waktu tertentu.
2.2 Polis Asuransi jiwa
Bentuk dan isi Polis
Sesuai dengan ketentuan Pasal 255 KUHD, asruransi
jiwa harus diadakan secara tertulis dengan bentuk akta yang disebut polis.
Menurut ketentuan pasal 304 KUHD, polis asuransi jiwa memuat:
a. Hari diadakan asuransi;
b. Nama tertanggung;
c. Nama orang yang jiwanya
diasuransikan;
d. Saat mulai dan berakhirnya
evenemen;
e. Jumlah asuransi;
f. Premi asuransi.
Akan tetapi, mengenai rancangan jumlah dan
penentuan syarat-syarat asuransi sama sekali bergantung pada persetujuan antara
kedua pihak (Pasal 305 KUHD).
a. Hari diadakan asuransi
Dalam polis harus dicantumkan hari dan tanggal
diadakan asuransi. Hal ini penting untuk mengetahui kapan asuransi itu mulai
berjalan dan dapat diketahui pula sejak hari dan tanggal itu risiko menjadi
beban penanggung.
b. Nama tertanggung
Dalam polis harus dicantumkan nama tertanggung
sebagai pihak yang wajib membayar premi dan berhak menerima polis. Apabila
terjadi evenemen atau apabila jangka waktu berlakunya asuransi berakhir,
tertanggung berhak menerima sejumlah uang santunan atau pengembalian dari
penanggung. Selain tertanggung, dalam praktik asuransi jiwa dikenal pula
penikmat (beneficiary). yaitu orang yang berhak menerima sejumlah uang tertentu
dan penanggung karena ditunjuk oleh tertanggung atau karena ahli warisnya, dan
tercantum dalam polis. Penikmat berkedudukan sebagai pihak ketiga yang
berkepentingan.
c. Nama orang yang jiwanya
diasuransikan
Objek asuransi jiwa adalah jiwa dan badan manusia
sebagai satu kesatuan. Jiwa tanpa badan tidak ada, sebaliknya badan tanpa jiwa
tidak ada arti apa-apa bagi asuransi Jiwa. Jiwa seseorang merupakan objek
asuransi yang tidak berwujud, yang hanya dapat dlkenal melalui wujud badannya.
Orang yang punya badan itu mempunyai nama yang jiwanya diasuransikan, baik
sebagai pihak tertanggung ataupun sebagai pihak ketiga yang berkepentingan.
Namanya itu harus dicantumkan dalam polis. Dalam hal ini, tertanggung dan orang
yang jiwanya diasuransikan itu berlainan.
d. Saat mulai dan berakhirriya
evenemen
Saat mulai dan berakhirnya evenemen merupakan
jangka waktu berlaku asuransi. artinya dalam jangka waktu itu risiko menjadi
beban penanggung, misalnya mulai tanggal 1 januari 1990 sampai tanggal 1
Januari 00, apabila dalam jangka waktu itu terjadi evenemen, maka penanggung
berkewajiban membayar santunan kepada tertanggung atau orang yang ditunjuk
sebagai penikmat (beneficiary).
Jumlah Asuransi
Jumlah asuransi adalah sejumlah uang tertentu yang
diperjanjikan pada saat diadakan asuransi sebagai jumlah santunan yang wajib
dibayar oleh penanggung kepada penikmat dalam hal terjadi evenemen, atau
pengembalian kepada tertanggung sendiri dalam hal berakhirnya jangka waktu
asuransi tanpa terjadi evenemen. Menurut ketentuan Pasal 305 KUHD, perkiraan
jumlah dan syarat-syarat asuransi sama sekali ditentukan oleh perjanjian bebas
antara tertanggung dan penanggung. Dengan adanya perjanjian bebas tersebut,
asas kepentingan dan asas keseimbangan alam.asuransi jiwa dikesampingkan.
Premi Asuransi
Premi asuransi adalah sejumlah uang yang wajib
dibayar oleh tertanggung kepada penanggung setiap jangka waktu tertentu,
biasanya setiap bulan selama asuransi berlangsung. Besarnya jumlah premi
asuransi tergantung pada jumlah asuransi yang disetujui oleh tertanggung pada
saat diadakan asuransi.
Penanggung, Tertanggung,
Penikmat
Dalam hukum asuransi minimal terdapat 2 (dua)
pihak, yaitu penanggung dan tertanggung. Penanggung adalah pihak yang
menanggung beban risiko sebagai imbalan premi yang diterimanya dari
tertanggung. Jika terjadi evenemen yang menjadi beban penanggung, maka
penanggung berkewajiban mengganti kerugian. Dalam asuransi jiwa, jika terjadi
evenemen matinya tertanggung, maka penanggung wajib membayar uang santunan,
atau jika berakhirnya jangka waktu usuransi tanpu terjadi evenemen, maka
penanggung wajib membayar sejumlah uang pengembalian kepada tertanggung.
Penanggung adaiah Perusahaan Asuransi Jiwa yang memberikan jasa dalam
penanggulanggan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau matinya seseorang yang
diasuransikan. Perusahaan Asuransi Jiwa merupakan badan hukum milik swasta atau
badan hukum milik negara.
Asuransi dapat juga diadakan untuk kepentingan
pihak ketiga dan ini harus dicantumkan dalam polis. Menurut teori kepentingan
pihak ketiga (the third party interest theory), dalam asuransi jiwa, pihak
ketiga yang berkepentingan itu disebut penikmat. Penikmat ini dapat berupa
orang yang ditunjuk oieh tentanggung atau ahli waris tertanggung. Munculnya
penikmat ini apabila terjadi evenemen meninggalnya tertanggung. Dalam hal ini,
tertanggung yang meninggal itu tidak mungkin dapat menikmati santunan, tetapi
penikmat yang ditunjuk atau ahli waris tertanggunglah sebagai yang berhak
menikmati santunan. Akan tetapi, bagaimana halnya jika asuransi itu berakhir
tanpa terjadi evenemen meninggalnya tertanggung?. Dalam hal ini tertanggung
sendiri yang berkedudukan sebagai penikmat karena dia sendiri masih hidup dan
berhak menikmati pengembalian sejumlah uang yang dibayar oleh penanggung.
Apabila tertanggung bukan penikmat, maka hal ini
dapat disamakan dengan asuransi jiwa untuk kepentingan pihak ketiga. Penikmat
selaku pihak ketiga tidak mempunyai kewajiban membayar premi terhadap
penanggung. Asuransi diadakan untuk kepentingannya, tetapi tidak atas tanggung jawabnya.
Apabila tertanggung mengasuransikan jiwanya sendiri, maka tentanggung sendiri
berkedudukan sebagai penikmat yang berkewajiban membayar premi kepada
penanggung. Dalam hal ini tertanggung adalah pihak dalam asuransi dan sekaligus
penikmat yang berkewajiban membayar premi kepada penanggung. Asuransi jiwa
untuk kepentingan pihak ketiga (penikmat) harus dicantumkan dalam polis.
2.3 Evenemen Dan Santunan
1. Evenemen dalam Asuransi Jiwa
Dalam Pasal 304 KUHD yang mengatur tentang isi
polis, tidak ada ketentuan keharusan mencantumkan evenemen dalam polis asuransi
jiwa berbeda dengan asuransi kerugian, Pasal 256 ayat (1) KUHD mengenai isi
polis mengharuskan Pencantuman bahaya-bahaya yang menjadi beban penanggung.
Mengapa tidak ada keharusan mencantumkan bahnya yang menjadi beban penanggung
dalam polis asuransi jiwa?. Dalam asuransi jiwa yang dimaksud dengan hahaya
adalah meninggalnya orang yang jiwanya diasuransikan. Meninggalnya seseorang
itu merupakan hal yang sudah pasti, setiap makhluk bernyawa pasti mengalami
kematian. Akan tetapi kapan meninggalnya seseorang tidak dapat dipastikan.
lnilah yang disebut peristiwa tidak pasti (evenemen) dalam asuransi jiwa.
Evenemen ini hanya 1 (satu), yaitu ketidak pastian
kapan meniggalnya seseorang sebagai salah satu unsur yang dinyatakan dalam
definisi asuransi jiwa. Karena evenemen ini hanya 1 (satu), maka tidak perlu di
cantumkan dalam polis. Ketidakpastian kapan meninggalnya seorang tertanggung
atau orang yang jiwanya diasuransikan merupakan risiko yang menjadi beban penanggung
dalam asuransi jiwa. Evenemen meninggalnya tertanggung itu bersisi 2 (dua),
yaitu meninggalnya itu benar-benar terjadi dalam jangka waktu asuransi, dan
benar-benar tidak terjadi sampai jangka waktu asuransi berakhir. Kedua-duanya
menjadi beban penanggung.
2. Uang Santunan dan Pengembalian
Uang santunan adalah sejumlah uang yang wajib
dibayar oleh penanggung kepada penikmat dalam hal meninggalnya tertanggung
sesuai dengan kesepakatan yang tercantum dalam polis. Penikmat yang di maksud
adalah orang yang ditunjuk oleh tertanggung atau orang yang menjadi ahli
warisnya sebagai yang berhak menerima dan menikmati santunan sejumlah uang yang
dibayar oleh penanggung. Pembayaran santunan merupakan akibat terjadinya
peristiwa, yaitu meninggalnya tertanqgung dalam jangka waktu berlaku asuransi
jiwa.
Akan tetapi, apabila sampai berakhirnya jangka
waktu asuransi jiwa tidak terjadi peristiwa meninggalnya tertanggung, maka
tertanggung sebagai pihak dalam asuransi jiwa, berhak memperoleh pengembalian
sejumlah uang dan penanggung yang jumlahnya telah ditetapkan berdasarkan
perjanjian dalam hal ini terdapat perbedaan dengan asuraransi kerugian. Pada
asuransi kerugian apabila asuransi berakhir tanpa terjadi evenemen, premi tetap
menjadi hak penanggung, sedangkan pada asuransi jiwa, premi yang telah diterima
penanggung dianggap sebagai tabungan yang dikembalikan kepada penabungnya,
yaitu tertanggung.
2.4 Asuransi Jiwa Berakhir
1. Karena Terjadi Evenemen
Dalam asuransi jiwa, satu-satunya evenemen yang
menjadi beban penanggung adalah meninggalnya tertanggung. Terhadap evenemen
inilah diadakan asuransi jiwa antara tertanggung dan penanggung. Apabila dalam
jangka waktu yang diperjanjikan terjadi peristiwa meninggalnya tertanggung,
maka penanggung berkewajiban membayar uang santunan kepada penikmat yang
ditunjuk oleh tertanggung atau kepada ahli warisnya. Sejak penanggung melunasi
pembayaran uang santunan tersebut, sejak itu pula asuransi jiwa berakhir.
Apa sebabnya asuransi jiwa berakhir sejak pelunasan
uang santunan, bukan sejak meninggalnya tertanggung (terjadi evenemen)? Menurut
hukum perjanjian, suatu perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak berakhir
apabila prestasi masing-masing pihak telah dipenuhi. Karena asuransi jiwa
adalah perjanjian, maka asuransi jiwa berakhir sejak penanggung melunasi uang
santunan sebagai akibat dan meninggalnya tertanggung. Dengan kata lain,
asuransi jiwa berakhir sejak terjadi evenemen yang diikuti dengan pelunasan
klaim.
2. Karena Jangka Waktu Berakhir
Dalam asuransi jiwa tidak selalu evenemen yang
menjadi beban penanggung itu terjadi bahkan sampai berakhirnya jangka waktu
asuransi. Apabila jangka waktu berlaku asuransi jiwa itu habis tanpa terjadi
evenemen, niaka beban risiko penanggung berakhir. Akan tetapi, dalam perjanjian
ditentukan bahwa penanggung akan mengembalikan sejumtah uang kepada tertanggung
apabila sampai jangka waktu asuransi habis tidak terjadi evenemen. Dengan kata
lain, asuransi jiwa berakhir sejak jangka waktu berlaku asuransi habis diikuti
dengan pengembalan sejumlah uang kepada tertanggung.
3. Karena Asuransi Gugur
Menurut ketentuan Pasal 306 KUHD:
“Apabila orang yang diasuransikan jiwanya pada saat
diadakan asuransi ternyata sudah meninggal, maka asuransinya gugur, meskipun
tertanggung tidak mengetahui kematian tersebut, kecuali jika diperjanjikan
lain”,
Kata-kata bagian akhir pasal ini “kecuali jika
diperjanjiknn lain” memberi peluang kepada pihak-pihak untuk memperjanjikan
menyimpang dari ketentuan pasal ini, misalnya asuransi yang diadakan untuk
tetap dinyalakan sah asalkan tertanggung betul-betul tidak mengetahui telah
meninggalnya itu. Apablia asuransi jiwa itu gugur, bagaimana dengan premi yang
sudah dibayar karena penanggung tidak menjalani risiko? Hal ini pun diserahkan
kepada pihak-pihak untuk memperjanjikannya. Pasal 306 KUHD ini mengatur
asuransi jiwa untuk kepentingan pihak ketiga.
Dalam Pasal 307 KUHD ditentukan:
“Apabila orang yang mengasuransikan jiwanya bunuh
diri, atau dijatuhi hukuman mati, maka asuransi jiwa itu gugur”.
Apakah masih dimungkinkan penyimpangan pasal ini?.
Menurut Purwosutjipto, penyimpangan dari ketentuan ini masih mungkin, sebab
kebanyakan asuransi jiwa ditutup dengan sebuah klausul yang membolehkan
penanggung melakukan prestasinya dalam hal ada peristiwa bunuh diri dan badan
tertanggung asalkan peristiwa itu terjadi sesudah lampau waktu 2 (dua) tahun
sejak diadakan asuransi. Penyimpangan ini akan menjadikan asuransi jiwa lebih
supel lagi.
4. Karena Asuransi Dibatalkan
Asuransi jiwa dapat berakhir karena pembatalan
sebelum jangka waktu berakhir. Pembatalan tersebut dapat terjadi karena
tertanggung tidak melanjutkan pembayaran premi sesuai dengan perjanjian atau
karena permohonan tertanggung sendiri. Pembatalan asuransi jiwa dapat terjadi
sebelum premi mulai dibayar ataupun sesudah premi dibayar menurut jangka
waktunya. Apabila pembatalan sebelum premi dibayar, tidak ada masalah. Akan
tetapi, apabila pembatalan setelah premi dibayar sekali atau beberapa kali
pembayaran (secara bulanan), bagaimana cara penyelesaiannya? Karena asuransi
jiwa didasarkan pada perjanjian, maka penyelesaiannya bergantung juga pada
kesepakatan pihak-pihak yang dicantumkan dalam polis
3.
Sumber : beritaislamimasakini.com
Judul : Asuransi Jiwa’
Prudential life’ dalam kacamata Islam
Penulis : Ahmad Sarwat, Lc
Diunduh : Rabu, 10 Des 2014
“Asuransi Jiwa 'Prudential Life' dalam Kacamata Islam” ketegori
Muslim. Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Langsung saja ustadz. Bagaimanakah sebenarnya hukum
mengikuti asuransi jiwa Prudential Life dalam kacamata Islam? Jazakallah
khoiron katsiro.
wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Muh. Yunan Nurtrianto
Jawaban
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh,
Bila dilihat dari segi bentuk transaksi dan praktek
ekonomi, bentuk-bentuk asuransi yang kita kenal sekarang ini umumnya masih
merupakan bentuk asuransi konvensional. Lepas dari nama perusahaannya.
Kata konvensional sebenarnya sebuah penghalusan
dari maksud sebenarnya. Maksud sebenarnya adalah asuransi yang tidak sesuai
dengan hukum halal haram dari kacamata syariah Islam.
Asuransi konvensional adalah sebuah produk sistem
perekonomian non-Islam. Sehingga kalau diukur dengan batasan-batasan syariah,
harus diakui bahwa di dalamnya banyakterkandungketidak-sesuaian dengan hukum
halal haram.
1. Akadnya Banyak Mengandung Gharar
Akad asuransi konvensioal banyak sekali mengandung
hal-hal yang kurang pasti alias akad gharar. Maksudnya masing-masing pihak
penanggung dan tertanggung tidak mengetahui secara pasti jumlah yang ia berikan
dan jumlah yang dia ambil, pada waktu melangsungkan akad.
Orang yang ikut asuransi ini tidak bisa mengetahui
dengan pasti berapakah yang akan didapatnya dari ikut sertanya dalam sistem
ini. Demikian juga, perusahaan asuransi pun tidak dapat mengetahui dengan
pasti, seberapa besar akan mengambil uang dari nasabahnya. Kalau pun ada,
semuanya masih berupa perkiraan atau asumsi. Padahal seharusnya akad ini
merupakan akad yang jelas, berapa yang harus dibayar dan apa yang akan didapat.
Dan akad yang bersifat gharar ini hukumnya
diharamkan di dalam syariah Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW berikut
ini:
Dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW
melarang jual beli dengan cara melempar batu dan jual beli dengan cara gharar.
2. Akad Penundukan
Kelemahan kedua dari asuransi konvensional adaah
bahwa akad tersebut adalah akad idz’an. Maksudnya akad yang merupakan
penundukan pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Pihak yang kuat maksudnya
adalah pihak perusahan asuransi karena dialah yang menentukan syarat-syarat
yang tidak dimiliki tertanggung. Dan pihak yang lemah adalah para nasabah atau
pesertanya.
3. Mengandung Unsur Pemerasan
Dari kebanyakan kasus asuransi yang telah terjadi
di tengah masyarakat, memang sering kali terjadi unsur pemerasan. Karena para
nasabah atau para pemegang polis itu apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran
preminya, seringkali uang premi yang sudah dibayar jadi hangus atau hilang,
paling tidak akan dikurangi.
4. Mengandung Unsur ‘Penipuan’
Meski biasanya hal-hal seperti ini sudah tertulis
di dalam klausul dan ditanda-tangani oleh pihak peserta asuransi, namun
biasanya kurang ditonjolkan saat penawaran. Demikian juga dengan resiko-resiko
buruk yang akan terjadi, umumnya disembunyikan.
Fakta di lapangan adalah bukti yang sulit dibantah,
karena kasus-kasusnya memang nyata ada. Begitu banyak orang yang kemudian kapok
berurusan dengan perusahaan asuransi yang cenderung tidak pernah mau
berkompromi. Hanya masih ketika menawarkan di awal.
5. Diinvestasikan pada Lembaga Ribawi
Perusahaan asuransi pada hakikatnya mengumpulkan
uang dari masyarakat,lalu uang itu diinvestasikan lagi kepada pihak lain. Pihak
lain ini tentu saja lembaga usaha dan bisnis dengan praktek ribawi, di mana
pihak asuransi akan mendapat bunga yang nominalnya sangat besar. Bunga inilah
yang nanti sebagiannya menjadi uang yang akan dibayarkan kepada peserta
asuransi bila ada yang melakukan klaim kepada mereka.
Titik haramnya adalah ketika perusahaan asuransi
membenamkan investasinya pada perusahaan dengan cara bunga atau riba. Berarti
ketika seorang muslim ikut asuransi konvensional, dia pada hakikatnya sedang
melakukan transaksi pembungaan uang alias riba yang mutlak haramnya.
Asuransi yang Dibenarkan dalam Syariah
Suatu bentuk asuransi akan diperbolehkan secara
syariah jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat
Islam. Untuk itu harus terpenuhi beberapa syarat prinsip, antara lain:
Sistem
asuransi ituharus dibangun atas dasar ta’awun , tolong menolong, saling
menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT
berfirman, Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan
jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.
Sistem
asuransi itu tidak boleh bersifat mu’awadhoh atau akad jual beli yang
menguntungkan. Tidak boleh menjadi sebuah perusahaan yang berorientasi kepada
keuntungan material. Yang dbolehkan hanyanya sebuah kerja sosial yang bersifat
tabarru’ . Dan tabarru’ itu sama dengan hibah , oleh karena itu haram hukumnya
ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
Setiap
anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus
disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari
uang yang terkumpul itu diambillah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat
memerlukan.
Tidak
dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia
mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia
diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan
oleh jamaah.
Apabila
uang itu akan dikembangkan, maka harus diinvestasikan pada lembaga keuangan non
ribawi. Tidak boleh dengan menggunakan sistem bunga, melainkan dengan sistem
bagi hasil .
Dan untuk terpenuhinya syarat itu, dikembangkanlah
asuransi syariah. Sebab pada dasrnya di dalam akad asuransi itu memang ada
manfaat yang baik. Namun ada juga transaksi yang haram.
Asuransi syariah adalah sebuah upaya untuk
mendapatkan manfaat asuransi tapi dengan membuang semua sisi yang haram.
Wallahu a’lam bishshawab.
4. Sumber :
ppssnh.malang.pesantren.web.id
Judul : Rubrik Tanya Jawab
Penulis : Achmad Shamton
Masdugie
Diunduh : Rabu, 10 Des 2014
Asuransi Jiwa
Pertanyaan
Bagaimanakah hukum asuransi jiwa itu?
Jawaban
Penjelasan lebih rinci dapat dibaca dalam buku Solusi Problematika
Aktual Hukum Islam, pengantar Kyai Sahal Machfudz pada halaman 475-478.
Sedangkan mengenai masalah asuransi, menurut keputusan Munas NU Lampung tidak
ada dalil nash yang dipaparkan. Berikut cuplikannya.
Asuransi jiwa hukumnya haram. Kecuali apabila memenuhi
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
- Apabila asuransi jiwa tersebut mengandung unsure saving (tabungan)
Pada waktu menyerahkan uang premi, pihak tertanggung berniat untuk
menabung untungnya pada pihak penanggung (perusahaan asuransi). Pihak
penanggung berniat menyimpan uang tabungan milik pihak tertanggung dengan
cara-cara yang dibenarkan/dihalalkan oleh syariat agama Islam.
- Apabila sebelum jatuh tempo yang telah disepakati bersama antara pihak tertanggung dan pihak penanggung seperti yang telah disebutkan dalam polis (surat perjanjian), ternyata pihak penanggung tersebut sangat memerlukan (keperluan yang bersifat darurat) uang tabungannya, maka pihak tertanggung dapat mengambil atau menarik kembali sejumlah uang simpanannya, dari pihak penanggung dan pihak penanggung berkewajiban menyerahkan sejumlah uang tersebut kepadanya.
- Apabila pada suatu ketika pihak tertanggung terpaksa tidak dapat membayar uang premi, maka:
- Uang premi tersebut menjadi utang yang dapat diangsur oleh pihak tertanggung pada waktu-waktu permbayaran uang premi berikutnya.
- Hubungan antara pihak tertanggung dan pihak penanggung dinyatakan tidak putus. Uang tabungan milik tertanggung tidak dinyatakan hangus oleh pihak penanggung.
- Apabila sebelum jatuh tempo pihak tertanggung meninggal dunia, maka ahli warisnya berhak untuk mengambil sejumlah uang simpanannya, sedang pihak penanggung berkewajiban mengembalikan sejumlah uang tersebut.
Dari penjelasan di atas, bisa dipahami bahwa prinsip muamalah/transaksi
dalam Islam itu menganut paham عَنْ تَرَاضٍ saling merelakan dan ketiadaan ghurur,
dan penipuan.
Prinsip ‘an taroodlin atau saling merelakan itu artinya para
pihak yang bertransaksi tidak ada yang dirugikan. Akad transaksinya jelas dan
dapat dipahami, tidak membahasakan keterpaksaan sebagai kerelaan. Terkadang
orang mau berhutang ke rentenir, dan rentenir menarik bunga dengan alasan yang
berhutang rela. Kerelaan yang diakui dalam syariat adalah kerelaan yang
berdasar atas tidak adanya keterpaksaan.
Andai ada dua orang yang mau meminjamkan, satu dengan bunga dan satunya
tanpa bunga, kemudian kita lebih memilih yang tanpa bunga, maka sebenarnya
kalaupun kita meminjam ke orang yang memberikan dengan bunga maka tidak bisa
disebut rela.
Yang dimaksud ghurur adalah penipuan, semisal dalam beberapa hal
nasabah tidak membayarkan kewajibannya, maka tabungannya hangus. Pihak bank
atau asuransi menghanguskan harta nasabah ini dalam transaksi apa? Ini yang
disebut penipuan. Setiap hal yang merugikan para pihak bisa dikatakan penipuan.
Andai untuk segera mendapatkan jaminan asuransi, seseorang membakar
rumahnya dengan dalih kebakaran, maka hal ini juga bisa disebut penipuan.
Begitu juga dalam asuransi jiwa. Bagaimana andai ada anak turun, ahli waris
merekayasa pembunuhan nasabah untuk mendapat asuransi?
5.
Sumber : republika.co.id
Judul :
Asuransi Jiwa (1)
Penulis :
Heri Ruslan
Diunduh : Rabu, 10 Des 2014
Hukum
Asuransi Jiwa (1)
REPUBLIKA.CO.ID, Industri asuransi di Tanah Air tumbuh semakin pesat.
Total pendapatan industri asuransi pada kuartal III 2009 mencapai nilai
Rp 69,9 triliun.
Sedangkan pada periode yang sama tahun sebelumnya hanya Rp 36,6 triliun.
Pada 2008 total yang diasuransikan mencapai Rp 1.130 triliun. Pada 2010, industri asuransi di Tanah Air pun terus tumbuh hingga kini.
Pada 2008 total yang diasuransikan mencapai Rp 1.130 triliun. Pada 2010, industri asuransi di Tanah Air pun terus tumbuh hingga kini.
Industri asuransi di Indonesia menawarkan beragam produk, salah satunya
adalah asuransi jiwa. Lalu bagaimana sebenarnya hukum asuransi jiwa menurut
Islam? Ternyata terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum asuransi jiwa di
kalangan para ulama di Tanah Air.
Ulama Nahdlatul Ulama (NU) telah dua kali menetapkan fatwa tentang
asuransi jiwa. Pertama, ulama NU menetapkan fatwa tersebut dalam Muktamar NU
ke-14 di Magelang pada 1 Juli 1939. Dalam fatwanya, ulama NU menetapkan,
mengansuransikan jiwa atau yang lainnya di kantor asuransi itu hukumnya haram,
karena termasuk judi.
Sebagai dasarnya, para ulama NU mengutip keterangan dari risalah Syekh
Bakhit Mufti Mesir dalam majalah Nurul Islam Nomor 6 jilid I:
''Adapun asuransi jiwa, maka ia jauh dari akal sehat dan menimbulkan
kekaguman yang hebat. Maka tidak ada perusakan yang mampu memperpanjang umur
dan menjauhkan takdir, ia hanya memberi iming-iming dengan keamanan serupa
dengan yang dilakukan oleh para Dajjal.''
6. Sumber :
republika.co.id
Judul : Asuransi Jiwa (2)
Penulis : Heri Ruslan
Diunduh : Rabu, 10 Des 2014
Hukum
Asuransi Jiwa (2)
REPUBLIKA.CO.ID, Industri asuransi di Tanah Air tumbuh semakin pesat.
Total pendapatan industri asuransi pada kuartal III 2009 mencapai nilai
Rp 69,9 triliun.
Sedangkan pada periode yang sama tahun sebelumnya hanya Rp 36,6 triliun.
Pada 2008 total yang diasuransikan mencapai Rp 1.130 triliun. Pada 2010, industri asuransi di Tanah Air pun terus tumbuh hingga kini.
Pada 2008 total yang diasuransikan mencapai Rp 1.130 triliun. Pada 2010, industri asuransi di Tanah Air pun terus tumbuh hingga kini.
Industri asuransi di Indonesia menawarkan beragam produk, salah satunya
adalah asuransi jiwa. Lalu bagaimana sebenarnya hukum asuransi jiwa menurut
Islam? Ternyata terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum asuransi jiwa di
kalangan para ulama di Tanah Air.
Ulama Nahdlatul Ulama (NU) telah dua kali menetapkan fatwa tentang
asuransi jiwa. Pertama, ulama NU menetapkan fatwa tersebut dalam Muktamar NU
ke-14 di Magelang pada 1 Juli 1939. Dalam fatwanya, ulama NU menetapkan,
mengansuransikan jiwa atau yang lainnya di kantor asuransi itu hukumnya haram,
karena termasuk judi.
Sebagai dasarnya, para ulama NU mengutip keterangan dari risalah Syekh
Bakhit Mufti Mesir dalam majalah Nurul Islam Nomor 6 jilid I:
''Adapun asuransi jiwa, maka ia jauh dari akal sehat dan menimbulkan
kekaguman yang hebat. Maka tidak ada perusakan yang mampu memperpanjang umur
dan menjauhkan takdir, ia hanya memberi iming-iming dengan keamanan serupa
dengan yang dilakukan oleh para Dajjal.''
7.
Sumber : konsultasisyaria
Judul : Apakah Hukum
Asuransi Jiwa Syari’ah?
Penulis : Admin C
Diunduh : Rabu, 10 Des 2014
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum, ustadz, barokallahu fiik…
Bagaimana hukumnya Asuransi Jiwa Syari’ah menurut Islam?
Abu Abdillah
Jawaban:
Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Wa fiika barakallahu.
Asuransi konvensional dengan segala macamnya baik asuransi jiwa,
asuransi barang dagangan dll adalah diharamkan karena mengandung hal-hal yang
diharamkan dalam syariat seperti gharar (penipuan), riba, mengambil harta orang
tanpa hak dll.
Adapun asuransi kerjasama/tolong menolong (ta’min ta’awuny),
dimana sebuah kaum mengumpulkan uang kemudian jika ada yang mendapat musibah
maka dibantu dengan uang tersebut maka ini diperbolehkan karena niatnya adalah
murni kerjasama dalam kebaikan dan membantu orang yang membutuhkan, bukan
mencari keuntungan dari apa yang dia bayarkan. (Lihat Fatawa Al-Lajnah
Ad-Daimah 15/266 )
Asuransi jiwa syari’ah yang dipraktekkan di Indonesia ada yang berusaha
untuk mengembalikan sebagian dana nasabah ketika dalam kurun waktu tertentu
tidak terjadi musibah, namun ini masih belum bisa keluar dari unsur gharar,
perjudian, dan riba (apabila mengembalikan sama atau lebih dari yang dibayar
nasabah). Demikian pula niat dari nasabah kebanyakan bukan karena shadaqah
seperti dalam ta’min ta’awuni, akan tetapi karena ingin mengambil keuntungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar