Cari Blog Ini

Selasa, 23 Desember 2014

HAK TANGGUNGAN

D. HAK TANGGUNGAN

1.    Sumber    : lawfile.blogspot.com
    Diunduhan    : Jumat, 28 Nopember 2014
    Penulis    : Law File
    Judul        : Hak Tanggungan


HAK TANGGUNGAN
Pengertian Hak Tanggungan menurut UU No. 4 Tahun 1996
Hak Tanggungan menurut UU No. 4 Tahun 1996 adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam undang–undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan pokok–pokok agrarian, berikut atau tidak berikut benda–benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor–kreditor lain.

Perbedaan objek Hak Tanggungan dan Hypotek :
Objek hak tanggungan adalah hak atas tanah dam neliputi benda yang melekat dengan tanah yang meliputi hak milik, HGU, HGB, hak pakai baik hak milik maupun hak atas Negara dan hak atas tanah berikut bangunan , tanaman, hasil karya  yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
Sedangkan objek hipotik hak atas tanah, meliputi hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunansaja,  tetapi semenjak berlakunya UU No. 4 Tahun1996 tentang hak tanggungan . maka hak hipotik atas tanah tidak berlaku lagi.




2.    Sumber    : Jumaristoho.wardpress.com   
    Diunduh    : Jumat, 28 Nopember 2014
    Penulis    : Jumaristoho
    Judul        : Hak Tangggungan

Hak Tanggungan
Berdasarkan pasal 1 ayat 1 undang-undang hak tanggungan (UUTH), hak tanggungan merupakan hak jaminan atas tanah yang dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan suatu satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang dan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur yang lain.
Dengan demikian UUTH memberikan kedudukan kreditur tertentu yang kuat dengan ciri sebagai berikut :
1. Kreditur yang diutamakan (droit de preference) terhadap kreditur lainya .
2. Hak tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut atau selama perjanjian pokok belum dilunasi (droit de suite).
3. Memenuhi syarat spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Benda yang akan dijadikan jaminan hutang yang bersifat khusus harus memenuhi syarat-syarat khusus seperti berikut :
· Benda tersebut dapat bersifat ekonomis (dapat dinilai dengan uang).
· Benda tersebut dapat dipindah tangankan haknya kepada pihak lain.
· Tanah yang akan dijadikan jaminan ditunjukan oleh undang-undang.
· Tanah-tanah tersebut sudah terdaftar dalam daftar umum (bersetifikat berdasarkan peraturan    pemerintah no 29 tahun 1997 tentang pendaftaran.
Obyek hak tanggungan yakni :
1. Hak milik (HM).
2. Hak guna usaha ( HGU).
1. Rumah susun berikut tanah hak bersama serta hak milik atas satuan rumah susun (HM SRS).
2. Hak pakai atas tanah negara.
Obyek hak tanggungan tersebut terdapat dalam pasal 4 undang-undang no 4 tahun 1996.











3.    Sumber    : legalbank.wordpress.com
    Diunduh    : Kamis, 4 Desember 2014
    Penulis    :
    Judull        : Jaminan dan pengikatan jaminan


PENGIKATAN JAMINAN

1.      Hak Tanggungan
Hak Tanggungan diatur dalam UUHT.  Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan atas tanah berikut atau tidak berikut setiap benda yang merupakan bagian dan kesatuannya, untuk pelunasan suatu utang tertentu dan memberikan kedudukan yang diutamakan/preferent kepada Kreditur tertentu terhadap Kreditur lain.
1.    Ciri-ciri Hak Tanggungan
(i)         Memberikan kedudukan diutamakan (preferent) kepada Krediturnya;
(ii)        Selalu mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut berada (droit de suite);
(iii)       Memenuhi asas spesialitas dan publisitas;
(iv)       Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya;
(v)       Tidak dapat dibagi-bagi;
(vi)      Bersifat accessoir/merupakan ikatan pada perjanjian pokok yakni perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum hutang-piutang.
1.    Obyek Hak Tanggungan
(i)         Hak Milik
(ii)        HGB
(iii)       HGU
(iv)       Hak Pakai atas Tanah Negara
Hak atas tanah sebagaimana tersebut di atas dapat dibebani Hak Tanggungan karena memenuhi 2 syarat, yaitu :
1.    Terdaftar dalam buku tanah di Kantor Pertanahan (memenuhi asas publisitas); dan
2.    Dapat dipindahtangankan.

Hak Pakai atas Tanah Negara yang diberikan kepada instansi Pemerintah, Badan Keagamaan dan Sosial dan Badan Perwakilan Negara Asing yang tidak dibatasi jangka waktunya dan diberikan selama tanahnya digunakan untuk keperluan tertentu wajib didaftarkan, tetapi karena menurut sifatnya tidak dapat dipindah tangankan bukan merupakan obyek Hak Tanggungan, sedangkan Hak Pakai atas Tanah Negara yang diberikan kepada orang perorangan dan badan-badan hukum perdata, karena memenuhi kedua persyaratan tersebut di atas, dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan.
1.    Hapusnya Hak Tanggungan
(i)         Hapusnya hutang sebagaimana diatur dalam pasal 1381 KUH Perdata yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
(ii)        Dilepasnya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
(iii)       Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
(iv)       Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.5 tahun 1960 tertanggal 24 September 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (“UUPA”).
Namun untuk tanah HGU, HGB dan Hak Pakai yang diperpanjang sebelum tanggal jatuh tempo, Hak Tanggungan yang dibebankan atasnya tetap berlanjut/tidak gugur.
Apabila Hak Tanggungan hapus karena hutang telah dibayar lunas atau karena sebab-sebab sebagaimana telah disebut di atas, maka Kantor Pertanahan melakukan pencoretan catatan atau roya catatan Hak Tanggungan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja atas permintaan pihak yang berkepentingan.
2.      SKMHT
SKMHT merupakan akta yang bersifat pemberian kuasa oleh pemilik tanah/bangunan kepada Kreditur untuk melakukan pembebanan Hak Tanggungan atas tanah/bangunan yang dijadikan jaminan utang.
Pada dasarnya SKMHT bukanlah pengikatan jaminan, tetapi hanya sekedar kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan dan karenanya Kreditur belum mendapatkan hak-hak yang seluasnya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam SKMHT (pasal 15 UUHT) adalah:
1.    Hanya diperkenankan dalam keadaan khusus, yakni apabila pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir sendiri di hadapan PPAT untuk membuat APHT;
2.    Harus berbentuk Akta Notaril yang dibuat oleh Notaris/PPAT;
3.    Isi SKMHT hanya memuat perbuatan hukum membebankan Hak Tanggungan;
4.    Tidak memuat kuasa substitusi;
5.    Tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya;
6.    Jangka waktu berlakunya:
•    Untuk tanah yang sudah terdaftar : 1 bulan
•    Untuk tanah yang belum terdaftar : 3 bulan;
1.    SKMHT untuk menjamin pelunasan Kredit Usaha Kecil, berlaku sampai saat berakhirnya masa perjanjian pokok.










4.    Sumber        : lib.ui.ac.id
    Diunduhan        : Kamis, 4 Desember 2014
    Penulis        : LIB UI AC ID
    Judul            : Peberian Kredit dan Jaminan Kredit Perbankan


1. Pengertian Hak Tanggungan
Hak tanggungan menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta BendaBenda Yang Berkaitan Dengan Tanah, adalah :
“Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokokA graria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditortertentu terhadap kreditor- kreditor lainnya.”
Dari rumusan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu hak tanggungan adalah suatu bentuk jaminan pelunasan utang, dengan hak mendahulu, dengan objek jaminannya berupa Hak-Hak Atas Tanah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2. Sifat dan Ciri Hak Tanggungan
Hak tanggungan sebagai lembaga jaminan atas tanah yang kuat dan mampu memberikan kepastian hukum bagi para pihak, mempunyai dengan ciri-ciri sebagai berikut :12
1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya (kreditor tertentu).
Dari definisi mengenai hak tanggungan sebagaimana dikemukakan di atas, diketahui bahwa hak tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor terhadap kreditor-kreditor lain. Yang dimaksud dengan “kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain”, dapat dijumpai dalam Penjelasan Umum angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, yaitu :
“…. Bahwa jika debitur cidera janji, maka kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual tanah yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum, menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada
kreditor-kreditor lain….”
Ciri ini dalam ilmu hukum dikenal dengan istilah droit de preference.
2. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan di tangan siapapun objek itu berada.
Ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan DenganTanah menyatakan bahwa hak tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada,14 sehingga hak tanggungan tidak akan berakhir sekalipun objek hak tanggungan beralih ke pihak lain oleh sebab apa pun juga. Asas yang disebut droit de suite memberikan kepastian kepada kreditur mengenai haknya untuk memperoleh pelunasan dari hasil penjualan atas tanah -penguasaan fisikatauHak Atas Tanah -penguasaan yuridis, yang menjadi objek hak tanggungan bila debitor wanprestasi, sekalipun tanah atau hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan itu dijual oleh pemiliknya atau pemberi hak tanggungan kepada pihak ketiga. 
3. Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas, sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak yang berkepentingan.
Asas spesialitas diaplikasikan dengan cara pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sedangkan asas publisitas diterapkan pada saat pendaftaran pemberianhak tanggungan di Kantor Pertanahan. Pendaftaran tersebut merupakan syarat mutlak untuk lahirnya hak tanggungan tersebut dan mengikatnya hak tanggungan terhadap pihak ketiga.
4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Keistimewaan lain dari hak tanggungan yaitu bahwa hak tanggungan merupakan hak jaminan atas tanah yang mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Apabila debitor wanprestasi tidak perlu ditempuh cara gugatan perdata biasa yang memakan waktu dan biaya. Bagi kreditor pemegang hak tanggungan disediakan cara-cara khusus, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
Menurut Prof. Ny. Arie S. Hutagalung, S.H., MLI. Dengan ciri-ciri tersebut diatas, maka diharapkan sektor perbankan yang mempunyai pangsa kredit yang paling besar dapat terlindungi dalam menyalurkan dana kepada masyarakat dan secara tidak langsung dapat menciptakan iklim yang kondusif dan lebih sehat dalam pertumbuhan dan perkembangan perekonomian.
Disamping memiliki empat ciri di atas Hak Tanggungan juga mempunyai beberapa sifat, seperti :
a. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi
Maksud dari hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, yaitu hak tanggungan membebani secara utuh objeknya dan setiap bagian dari padanya. Pelunasan sebagian utang yang dijamin tidak membebaskan sebagian objek dari beban hak tanggungan. Hak tanggungan yang bersangkutan tetap membebani seluruh objek untuk sisa utang yang belum dilunasi.
Akan tetapi seiring berkembangnya kebutuhan akan perumahan, ketentuan tersebut ternyata menimbulkan permasalahan yaitu dalam hal suatu proyek perumahan atau rumah susun ingin diadakan pemisahan.
Apabila tanahnya dibebankan hak tanggungan, ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah akan menyulitkan penjualan rumah atau satuan rumah susun yang telah dibangun tersebut.
Oleh karenanya untuk mengatasi permasalahan, maka ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah membuka kesempatan untuk menyimpangi sifat tersebut, jika hak tanggungan dibebankan pada beberapa Hak Atas Tanah dan pelunasan utang yang dijamin dilakukan dengan angsuran sebesar nilai masing-masing. Hak Atas Tanah yang merupakan bagian dari objek hak tanggungan yang akan dibebaskan dari hak tanggungan tersebut.
Dengan demikian hak tanggungan hanya akan membebani sisa objek untuk sisa hutang yang belum dilunasi. Agar hal ini dapat berlaku, maka harus diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan.
b. Hak tanggungan merupakan perjanjian accesoir.
Hak tanggungan diberikan untuk menjamin pelunsaan hutang debitor kepada kreditor, oleh karena itu hak tanggungan merupakan perjanjian accesoir pada suatu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang-piutang sebagai perjanjian pokok. Kelahiran, eksistensi, peralihan, eksekusi, berakhir dan hapusnya hak tanggungan dengan sendirinya ditentukan oleh peralihan dan hapusnya piutang yang dijamin pelunasannya. Tanpa ada suatu piutang tertentu yang secara tegas dijamin pelunasannya, maka menurut hukum tidak akan ada hak tanggungan.


5.    Sumber    : kennie7.blogspot.com
    Diunduh    : Kamis, 4 Desember 2014
Penulis    : The Real Kennie
    Judul        : Makalah Hukum Jminan dan Pemberian Kredit


1.      UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak tanggungan
UU No. 4 Tahun 1996 mengatur lembaga jaminan yang disebut Hak Tanggungan. Lembaga jaminan hak tanggungan digunakan untuk mengikat objek jaminan utang yang berupa tanah atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang bersangkutan. Dengan berlakunya UU No. 4 Tahun 1996, maka hipotek yang diatur oleh KUH Perdata dan credit verband yang sebelumnya digunakan untuk mengikat tanah sebagai jaminan utang, untuk selanjutnya sudah tidak dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengikat tanah sebagai jaminan utang.
Sejak berlakunya UU No. 4 Tahun 1996 pada tanggal 9 April 1996, pengikatan objek jaminan utang berupa tanah sepenuhnya dilakukan melalui lembaga jaminan hak tanggungan.
Adapun pengertian hak tanggungan dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 4 Tahun 1996 adalah:
“Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentamg Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suatu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor terhadap kreditor-kreditor lain.”[11]
Ciri-ciri Hak Tanggungan
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa U No. 4 Tahun 1996 mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.
1)      Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya.
2)      Selalu mengikuti objek jaminan utang dalam tangan siapa pun objek tersebut berada.
3)      Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas.
4)      Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

3.      UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
a.       Pengertian fidusia dan jaminan fidusia
1)      Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemiliknnya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda (pasal 1 angka 1).
2)      Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda yang bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertebtu, yang memberika kedudukan diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya (Pasal 1 angka 2).
b.      Ciri-ciri jaminan fidusia diantaranya adalah :
1.      memberikan hak kebendaan
2.      memberikan hak didahulukan kepada kreditor
3.      memungkinkan kepada pemberi jaminan fidusia untuk tetap menguasai objek jaminan utang
4.      memberikan kepastian hukum
5.      mudah dieksekusi
c.       Ruang Lingkup Jaminan Fidusia
1)      Undang-undang ini berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani benda dengan jaminan fidusia (Pasal 2).
2)      Undang-undang ini tidak berlaku terhadap hak-hak berikut:
a)      Hak tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar (Pasal 3 huruf a)
Penjelasan Pasal 3 huruf a menjelaskan: berdasarkan ketentuan ini, bangunan diatas tanah milik orang lain yan tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, dapat dijadikan objek jaminan fidusia.
b)      Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran dua puluh M3atau lebih (pasal 3 huruf b).
c)      Hipotek atas pesawat terbang (Pasal 3 huruf c)
d)     Gadai (Pasal 3 huruf d)
3.      Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang tentang Penajminan Utang
Ketentuan hukum jaminan terdapat pula pada berbagai peraturan perundang-undangan lain sebagai peraturan pelaksanaan dari undang-undang yang mengatur peminjaman utang. Beberapa di antara peraturan pelaksanaan tersebut berupa Peratura Pemerintah (PP) misalnya PP No. 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, PP No. 27 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dan atau peraturan dari departemen atau instansi yang terkait, misalnya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional yang mengatur antara alin tentang penerbitan Akta Pemberian Hak Tanggungan . ketentuan dari peraturan pelaksanaan kedua undang-undang tentang lembaga jaminan tersebut merupakan pula bagian dari hukum jaminan dalam rangka pengaturan objek jaminan utang dan pengikatannya.

B.     Peraturan Perundang-undangan Lain yang Berkaitan dengan Penjaminan Utang
Selain peraturan perundang-undangan yang sepenuhnya atau khusus mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan utang, terdapat pula peraturan perundang-undangan lain yang dalam salah satu ketentuannya mengatur tentang penjaminan utang, ketentuan penjaminan utang yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan lain tersebut dapat dikatakan sebagai bagian dari hukum jaminan yang berlaku.

Beberapa di antara ketentuan penjaminan utang yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lain misalnya yang berupa undang-undang adalah sebagai berikut:
1.    Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang menetapkan tentang lembaga jaminan yang dapat dibebankan atas tanah dan disebut Hak Tanggungan.
2.    Pasal 12 A UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, yang mengatur mengenai pembelian objek jaminan kredit oleh bank pemberi kredit dalam rangka penyelesaian kredit macet debitur.
3.    Pasal 12 UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, yang menetapkan mengenai pembebanan hipotek atas pesawat udara dan helicopter.
4.    Pasal 49 UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, yang menetapkan mengenai pembebanan hipotek atas kapal.
5.    Pasal 11 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004, yang menetapkan tentang agunan untuk pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah oleh Bank Indonesia kepada bank yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek

Di samping ketentuan yang hanya menunju kepada pasal-pasal tertentu dalam undang-undangnya beserta penjelasannya, perlu pula diperhatikan dan dipatuhi ketentuan yang ada dalam peraturan pelaksanaannya (misalnya yang berupa peraturan pemerintah dan atau peraturan dari instansi terkait) sepanjang memuat ketentuan yang mengatur penjaminan utang.




BAB IV
Pemberian Kredit di Perbankan dan Hukum Islam

A.    Kredit Perbankan di Indonesia
Dalam memberikan kredit, bank selalu memakai prinsip 5 C, yaitu The Five Principles of Credit Analysis, yang menghendaki penelitian yang seksama mengenai watak dan kemampuan berusaha debitur, modal apa yang sudah di milikinya, jaminan apa yang dapat diberikan dan keadaan perekonomian Negara pada umumnya yang sekiranya dapat mendukung usaha debitur. Untuk mengurangi resiko kemungkinan terjadinya kredit macet, selain melakukan analisa yang akurat berdasarkan asas 5 C tersebut di atas, bank juga akan melakukan monitoring usaha debitur secara berkesinambungan.[12]

Landasan hukum yang pokok untuk kegiatan perbankan di Indonesia pada saat ini adalah UU perbankan Indonesia 1992/1998. Undang-undang tersebut mengatur tentang kelembagaan dan operasional bank komersial di Indonesia, yaitu bank yang berfungsi melayani kebutuhan jasa perbankan masyarakat.
1.      Pemberian Kredit menurut Ketentuan UU Perbankan Indonesia 1992/1998
Pemberian kredit adalah salah satu kegiatan usaha yang sah bagi Bank Umum dan Perkreditan Rakyat. Kedua jenis bank tersebut merupakan badan usaha penyalur dana kepada masyarakat dalam bentuk pemberian kredit di samping lembaga keuangan lainnya. Dalam UU Perbankan Indonesia 1992/1998 terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan pemberian kredit, di antaranya adalah sebagai berikut.
a.       Kredit Berkaitan dengan Penyaluran Dana ke Masyarakat
Pasal 1 angka 2 UU Perbankan Indonesia 1992/1998 menetapkan pengertian bank sebagai berikut. “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnyadalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”
b.      Pengertian Kredit
Kredit adalah pemberian prestasi oleh suatu pihak lain yang akan dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu disertai dengan kontra prestasi berupa bunga dengan kata lain, uang atau yang diterima sekarang akan dikembalikan pada masa yang akan datang sedangkan dalam arti ekonomi, Kredit adalah penandaan.[13]

Pengertian formal mengenai kredit perbankan di Indonesia terdapat dalam ketentuan Paal 1 angka 11 UU Perbankan Indonesia 1992/1998. Undang-undang tersebut menetapkan: “kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”

Berdasarkan pengertian kredit yang ditetapkan oleh undang-undang sebagaimna tersebut di atas, suatu pinjam-meminjam uang akan digolongkan sebagai kredit perbankan sepanjang memenuhi unsure-unsur sabagai berikut.
1)      Adanya penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang
2)      Adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain
3)      Adanya kewajiban melunasi utang
4)      Adanya jangka waktu tertentu
5)      Adanya pemberian bunga kredit

Kelima unsur yang terdapat bdalam pengertian kredit sebagaimana yang disebutkan di atas harus dipenuhi bagi suatu pinjaman uang untuk dapat disebut sebagai kredit di bidang perbankan. Walaupun istilah kredit banyak pula digunakan untuk kegiatan perutangan lainnya di masyarakat, hendaknya untuk istilah kredit dalam kegiatan perbankan selalu dikaitkan dengan pengertian yang ditetapkan oleh ketentuan Pasal 1 angka 11 UU Perbankan Indonesia 1992/1998.

c.       Pemberian Kredit adalah Usaha yang Sah bagi Bank
Pasal 6 huruf b dan Pasal 13 huruf b UU Perbankan Indonesia 1992/1998 masing-masing menetapkan kredit sebagai usaha bagi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Dengan dicantumkan pemberian kredit sebagai usaha bank dalam ketentuan undang-undang, maka kegiatan pemberian pinjaman uang ke masyarakat yang dilakukan bank telah mempunyai dasar hokum yang kuat. Bank dengan demikian tidak dapat digolongkan sebagai rentenir atau lintah darat yang sering tidak disukai oleh masyarakat. Pemberian kredit adalah usaha yang sah bagi bank sebagai badan usahadan sesuai dengan salah satu fungsi utamanya sebagai penyalur dana masyarakat.

d.      Pelaksanaan Pemberian Kredit
Menurut Pasal 8 UU Perbankan Indonesia 1992/1998, dalam melaksanakan kegiatan usahanya yang berupa pemberian kredit, bank antara lain:
1)      Wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan (Pasal 8 ayat (1));
2)      Memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (Pasal 8 ayat (2));
Sehubungan dengan ketentuan undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan pemberian kredit tersebut di atas, maka Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat wajib melakukan analisis kredit yang mendalam atas permohonan kredit yang diajkan oleh calon debitur, dan memiliki serta menerapkan pedoman perkreditan dalam melaksanakan perkreditannya.

a)      Analisis kredit
Mengenai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan ang diperjanjikan, maka hal itu dijelaskan lebih lanjut oleh penjelasan Pasal 8 ayat (1).

Berdasarkan analisis kredit yang dilakukannya, bank akan memberikan keputusan menolak atau menyutujui permohonan calon debitur. Oleh karena itu, setiap analisis kredit harus memuat penilaian yang lengkap dan sempurna sehingga dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan peraturan intern dan peraturan perundang-undangan lainnya.

b)      Pedoman perkreditan
Kewajiban memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan sebagaimana yang ditetapkan oleh ketentuan pasal 8 ayat (2) lenih lanjut diatur dengan SK Direksi BI No. 27/162/KE/DIR.

SK Direksi BI tersebut menetapkan kewajiban semua Bank Umum untuk memiliki dan menerapkan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (KBP) dalam pelaksanaan kegiatan perkreditannya dan juga melampirkan Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (PPKPB).
KPB yang kemudian disertai dengan Petunjuk Palaksanaan Kredit (PPK) merupakan peraturan intern masing-masing Bank yang harus dipatuhi dalam pelaksanaan pemberian kreditnya.

e.       Batas Maksimum Pemberian Kredit
Pasal 11 UU Perbankan Indonesia 1992/1998 menetapkan ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang berlaku antara lain untuk pemberian kredit oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam atau pihak yang terkait dengan bank. BMPK yang ditetapkan bagi peminjam atau sekelompok peminjam yang tidak terkait dengan bank adalah tidak melebihi 30% dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan bagi pihak yang terkait dengan bank tidak melebihi 10% dari modal bank. Ketentuan lebih lanjut mengenai BMPK tersebut diatur oleh PBI No 7/3/PBI/2005 dan perubahannya dengan PBI No. 8/13/PBI/2006.

Selanjutnya, dari penjelasan Pasal 11 yang menjelaskan tentang B<PK tersebut dapat disimpulkan antara lain sebagai berikut.
1)      Pemberian kredit mengandung resiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank. Risiko yang dihadapi bank dapat berpengaruh pula kepada keamanan dana masyarakat yang disimpan di bank.
2)      Oleh karena itu, untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahannya, bank diwajibkan menyebar resiko dengan mengatur penaluran kredit sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada debitur atau kelompok debitur tertentu.
Terhadap pelanggaran ketentuan BMPK di kenakan sanksi oleh Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam PBI No 7/3/PBI/2005 dan perubahannya dengan PBI No. 8/13/PBI/2006.
f.       Pemberian Kredit Terkait dengan Ketentuan Pembinaan dan Pengawasan Bank

Pasal 29 ayat (3) UU Perbankan Indonesia 1992/1998 menetapkan bahwa dalam pemberian kredit, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank

Dari penjelasan Pasal 29 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diketahui hal sebagai berkut.
1)      Bank wajib memiliki dan menerapkan system pengawasan intern dalam rangka menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
2)      Mengingat bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang dismpan pada bank atas dasar kepercayaan, setiap bank oerlu terus menjaga dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya.
Dengan memperhatikan ketentuan pasal 29 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan Indonesia 1992/1998 dan penjelasannya tersebut, pemberian kredit harus mendapat pengawasan berdasarkan system pengawasan intern yang berlaku pada masing-masing bank agar dapat menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat kepadanya.

Demikian beberapa hal yang diatur oleh ketentuan UU perbankan Indonesia 1992/1998 yang berkaitan dengan kredit perbankan. Hal lain mengenai pengaturan pemberian kredit adalah yang berkaitan dengan ketentuan sanksi pidana dan administratif yang tercantum dalam undang-undang tersebut[14]
g.      Unsur-unsur kredit, terdiri dari:
·         Kepercayaan: Kredit diberikan atas dasar kepercayaan
·         Waktu: Kredit selalu ada jangka waktunya
·         Risiko: Setiap kredit selalu mengandung unsur risiko
·         Prestasi: Kredit mengandung prestasi berupa pembayaran bunga
Walaupun pemberian kredit didasarkan atas kepercayaan, tetapi penilaian atas kepercayaan tadi harus memenuhi kriteria Five C’s (Character, Capacity, Capital,Condition dan Collateral), serta didokumentasikan, sehingga siapapun yang membaca dasar penilaian pemberian kredit mempunyai persepsi yang sama.
h.      Tujuan Pemberian Kredit
·         Bagi bank: a) Profitability, artinya ada keuntungan yang diperoleh secara wajar b)Safety, artinya harus aman dengan risiko yang telah dimitigasi sebelumnya.
·         Bagi nasabah: memberikan manfaat yang positif bagi masyarakat luas, dan meningkatkan produktivitas usaha.
·         Bagi masyarakat umum: dapat menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, dan meningkatkan kesempatan kerja.
i.        Prosedur Kredit
·         Merencanakan Pasar Sasaran. Bank harus mempunyai perencanaan, pasar mana yang akan dituju dalam memasarkan kreditnya, misalkan fokus pada sektor ritel/
·         Menentukan kriteria risiko yang dapat diterima. Bank hanya memasarkan kredit apabila kriteria risikonya jelas dan dapat dimitigasi, misalkan dengan: menetapkanlimit exposure, jenis usaha (dibuat ratingnya, dan rating apa saja yang layak dibiayai), lokasi dsb nya.
·         Menentukan kriteria nasabah kredit yang diberikan, berdasar pada kriteria nasabah yang jelas.
j.        Putusan Kredit
Setiap pemberian kredit harus melalui mekanisme proses dan prosedur baku, antara lain:
·         Ada permohonan kredit secara tertulis
·         Dilengkapi dengan dokumen yang dipersyaratkan
·         Disertai dengan proposal kredit
·         Dibuat rekomendasi dan putusan kredit
·         Dibuat pemberitahuan putusan kredit secara tertulis
·         Melakukan perjanjian kredit secara hukum
·         Proses pencairan kredit
·         Melakukan pengawasan dan evaluasi
Pada dasarnya tujuan pemberian kredit haruslah didasarkan pada kelayakan usaha, agar usaha yang dibiayai dapat berkembang, menyerap tenaga kerja, dan pada akhirnya dapat menyumbang peningkatan ekonomi masyarakat disekitarnya.[15]

B.     Pemberian Kredit dalam Hukum Islam
1.      Kredit dalam Hukum Islam
Pengertian kredit dalam hukum islam seperti di kemukakan dalam system perbankan dengan prinsip syariah istilah kredit menjadi berubah menjadi istilah pembiayaan, hal ini dapat dijelaskan dalam pasal 1 angka 12 UU no. 10 tahun 1998 yang menyebutkan :
“Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang di biayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”.[16]
Dalam wacana hukum islam, pembiayaan merupakan bagian dari pinjam meminjam. Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa pinjam meminjam merupakan perjanjian yang bertimbal balik (dua pihak) diman pihak yang satu memberikan suatu barang yang tidak habis karena pemakaian, dengan ketentuan bahwa pihak yang menerima akan mengembalikan barang tersebut sebagaimana yang diterimanya.[17]

2.    Islam dan Kredit
Menurut Anwar Iqbal Qureshi, fakta-fakta yang objektif menegaskan bahwa islam melarang setiap pembungaan uang. Hal ini tidak berarti bahwa islam melarang perkreditan sebab menurut Qureshi system perekonomian modern tidak akan lancar tanpa adanya kredit dan pinjaman.[18]
Pinjaman atau uang dapat dibagi ke dalam dua jenis :
a.    Pinjaman yang tidak dapat menghasilkan, yaitu pinjaman yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (konsumtif)
b.    Pinjaman yang membawa hasil, yaitu pinjaman yang dibutuhkan seseorang untuk menjalankan suatu usaha (produktif)

Bentuk utang yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga atau keperluan-keperluan hidup lainnya. Islam menyadari pentingnya pinjaman ini, tetapi pinjaman ini dilakukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bagi mereka yang tidak mampu membayar utangnya secara berangsur-angsur atau kontan (tunai) dianjurkan oleh agama islam agar utang orang etrsebut benar-benar dalam keadaan terdesak. Dalam islam dianjurkan apabila peminjam yang jatuh miskin (bangkrut) karena pinjaman itu, utangnya wajib ditunda pembayarannya.
Langkah-langkah penyelesaian seseorang yang berutang dan tidak mampu membayarnya, pertama diberi penundaan waktu pembayaran (perpanjangan waktu peminjaman). Apabila dalam perpanjangan waktu itu tidak bias melunasi, maafkanlah dia dan anggap saja utang itu sebagai shodaqoh. Hal ini akan lebih baik bagi yang meminjamkan.[19]

            Hukum kredit berdasarkan beberapa dalil-dalil berikut:
Dalil pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs. Al Baqarah: 282)
Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek hutang-piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka dengan keumuman ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.
Dalil kedua: Hadits riwayat ‘Aisyah radhiaalahu ‘anha.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi dasar dibolehkannya jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk jual-beli dengan pembayaran dihutang.

Dalil ketiga: Hadits Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhu.
أ     “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan, Maka Nabi memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amer bin Al ‘Ashpun seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammembeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan dihasankan oleh Al Albani.
Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabat Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash untuk membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta dengan pembayaran dihutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau tidak akan rela dengan harga yang begitu mahal, (200 %) bila beliau membeli dengan pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah terjadi penambahan harga barang karena pembayaran yang ditunda (terhutang).

Dalil keempat: Keumuman hadits salam (jual-beli dengan pemesanan).
Diantara bentuk perniagaan yang diijinkan syari’at adalah dengan cara salam, yaitu memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan). Transaksi ini adalah kebalikan dari transaksi kredit. Ketika menjelaskan akan hukum transaksi ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamtidak mensyaratkan agar harga barang tidak berubah dari pembelian dengan penyerahan barang langsung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bersabda:
“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas dan timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Pemahaman dari empat dalil di atas dan juga lainnya selaras dengan kaedah dalam ilmu fiqih, yang menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Berdasarkan kaedah ini, para ulama’ menyatakan bahwa: selama tidak ada dalil yang shahih nan tegas yang mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka perniagaan tersebut boleh atau halal untuk dilakukan.
Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barang siapa yang menjual jual penjualan dalam satu penjualan maka ia hanya dibenarkan mengambil harga yang paling kecil, kalau tidak, maka ia telah terjatuh ke dalam riba.” Riwayat At Tirmizy dan lain-lain.
Maka penafsirannya yang lebih tepat ialah apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dan lainnya, bahwa makna hadits ini adalah larangan dari berjual beli dengan cara ‘inah. Jual beli ‘Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera penjual membeli kembali barang tersebut dengan dengan pembayaran kontan dan harga yang lebih murah.[20]



BAB V
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Ketentuan yang terdapat dalam KUH perdata dan KUH Dagang mengatur sepenuhnya atau berkaitan dengan penjaminan utang. Disamping itu terdapat pula undang-undang tersendiri yaitu UU No. 4 Tahun 1996 dan UU No. 42 Tahun 1999 yang masing-masing khusus mengatur tentang lembaga jaminan dalam rangka penjaminan utang.

Pasal 1131 KUH Perdata mengatur tentang kedudukan harta pihak peminjam, yaitu bahwa harta pihak peminjam adalah sepenuhnya merupakan jaminan (tanggungan) atas utangnya. Ketentuan pasal 1131 KUH Perdata merupakan salah satu ketentuan pokok dalam hukum jaminan, yaitu mengatur tentang kedudukan harta pihak yang berutang (pihak peminjam) atas perikatan utangnya. Berdasarkan ketentuan pasal 1131 KUH Perdata pihak pemberi pinjaman akan dapat menuntut pelunasan utang pihak peminjam dari semua harta yang bersangkutan, termasuk harta yang masih akan dimilikinya di kemudian hari. Pihak pemberi pinjaman mempunyai hak untuk menuntut pelunasan utang dari harta yang akan diperoleh oleh pihak peminjam di kemudian hari.

Ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa kedudukan pihak pemberi pinjaman dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu (1) yang mempunyai kedudukan berimbang sesuai dengan piutang masing-masing, dan (2) yang mempunyai kedudukan didahulukan dari pihak pemberi pinjaman yang lain berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan.

Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan mengecualikan biaya untuk melelang barang tersebt dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya tersebut harus didahulukan. (Pasal 1150 KUH Perdata)

Lembaga jaminan yang diatur oleh ketentuan KUH Perdata, pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 adalah Hipotek.

Penanggungan utang adalah suatu persetujuan yang dibuat oleh seorang pihak ketiga untuk kepentingan pihak pemberi pinjaman dengan mengikatkan dirinya guna memenuhi perikatan pihak peminjam bila pihak peminjam wanprestasi terhadap pihak pember pinjaman. (Pasal 1820 KUH Perdata)

Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentamg Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suatu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor terhadap kreditor-kreditor lain. (Pasal 1 angka 1 UU No. 4 Tahun 1996)
Ciri-ciri Hak Tanggungan :
1.    Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya.
2.    Selalu mengikuti objek jaminan utang dalam tangan siapa pun objek tersebut berada.
3.    Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas.
4.    Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.






6.    Sumber    : unjalu.blogspot.com
    Diunduhan    : Kamis, 4 Desember 2014
    Penulis    : unjalu
    Judul        : Hak Jaminan

Hak tanggungan
Juga merupakan perjanjian jaminan
Hak tanggungan Adalah  :
Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud di dalam UU No 5 tahun 1960 berikut atau tidak berikut “benda2 lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu yang menberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur2 lainnya.
Unsur2nya
1.    Hak jaminan yang dibebankan hak atas tanah.
2.    Hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah.
3.    Untuk pelunasan hutang tertentu.
4.    Hak preferen sama dengan kedudukan yang diutamakan.
Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur2 lainnya lazim disebut Droit de Preference.
Kreditur separatis adalah kreditur yang tidak kena dampak failit.
Guna irah-irah adalah berfungsi sebagai agar kreditur dapat melelang apabila debitur wanprestasi
Keistimewaan ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat 1 dan pasal 20 ayat 1 UU no 4 Tahun 1976 yang berbunyi  :
“ apabila debitur cidera janji kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual objek yang dijadi kan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan yang berlaku dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut dengan hak mendahului daripada kreditur yang lain yang bukan pemegang hak tanggungan atau kreditur pemegang hak tanggungan dengan perintah yang lebih  rendah. Hak yang istimewa ini tidak dipunyai oleh kreditur bukan pemegang hak tanggungan.
Dari uraian diatas dapat ditemukan ciri hak tanggungan adalah  :
1.    Memberikan kedudukan yang diutamakan.
2.    selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun benda itu berada (Droit De suit)
3.    Memenuhi asas, spesialitas dan publisitas dapat mengikat pihak ke tiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan
4.    Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, kalau ia didaftarkan.
Selain ciri di atas keistimewaan kedudukan hukum, kreditur pemegang hak tanggungan juga dijamin dengan ketentuan pasal 21 UU No 4 Tahun 1996, apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan failit objek hak tanggungan tidak termasuk ke dalam budel kefailitan pemberi hak tanggungan sebelum kreditur pemegang hak tanggungan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan objek hak tanggungan itu.



Objek Hak tanggungan
Ada 5 hak atas tanah yang dijaminkan  :
1.    Hak milik.
2.    HGU
3.    HGB
4.    Hak pakai baik yang berasal dari tanah hak milik maupun berasal dari hak atas tanah negara
5.    Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut merupakan hak milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan dalam akta pemberian hak atas tanah yang bersangkutan.
Subjeknya mengikuti orang yang punya objek

Pengertian Tanah Hak milik
Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas atas kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya asal tidak bertentangan dengan UU, ketentuan umum dan tidak mengganggu hak orang lain menurut pasal 570 KUHPer.
Hak milik menurut UU No 5 Tahun 1950 adalah hak turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan yang tercantum dalam pasal 6 UUPA (setiap hak atas tanah itu berfungsi sosial)

Subjek Hak milik
a.    WNI
b.    Badan Hukum yang ditetapkan pemerintah sesuai dengan ketentuan yang berlaku
      Ex  : Bank pemerintah, badan keagamaan dan badan sosial.

Tata Cara tentang pemberian hak tanggungan.
Ada 2 macam
1.    Diberikan langsung oleh debitur
Prosedur pemberian hak tanggungan dengan cara langsung
a.    Didahului janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu yang merupakan tak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang.
Ex  :
Dalam perjanjian pokok yang di sebut hanya hutang piutang tapi dalam hal ini ada sedikit disinggung tentang pelunasannya di jamin oleh hak tanggungan yang akan ada perjanjiannya tersendiri.
b.    Dilakukan dengan pembuatan akte pemberian hak tanggungan (APHT) yang dibuat oleh PPAT.
c.    Objek Hak tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi yang telah memenuhi syarat didaftarkan akan tetapi belum dilakukan maka pemberian hak tanggungan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan.
2.    Diberikan oleh Kuasa
Prosedur Pemberian hak tanggungan dengan cara melalui surat kuasa pembebanan hak tanggungan.
a.    Wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT.
Yang isinya  :
-   Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada pembebanan hak tanggungan jadi isinya Cuma satu atau semata2 hanya berisi kuasa memasang hak tanggungan.
-   Tidak memuat kuasa substitusi (surat kuasa pengalihan ).
-   Mencantumkan secara jelas objek hak tanggungan, jumlah hutang dan nama serta identitas krediturnya apabila debitur bukan pemberi hak tanggungan.
b.    Tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun kecuali kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya.
c.    Surat kuasa pembebanan hak tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat2nya 1 bulan sesudah diberikan
d.    Surat kuasa membebankan hak tanggungan mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengna pembuatan APHT selambat2 3 Bulan sesudah diberikan.
Ada 2 alasan pembuatan dan penggunaan SKMHT (surat keterangan memegang hak tanggungan)
1.    Alasan Subyektif
a.    Pemberian hak tanggungan tidak dapat hadir di hadapan Notaris atau PPAT untuk membuat akta hak tanggungan.
b.    Prosedur pembebanan hak tanggungan panjang
c.    Biayanya Tinggi.
d.    Kredit yang diberikan jangka pendek.
e.    Kredit yang diberikan tidak besar
f.    Debitur sangat Bonafit.
2.    Alasan Objektif
a.    Sertifikat belum diterbitkan
b.    Balik Nama atas tanah pemberi hak tanggungan belum dilakukan.
c.    Pemenuhan, penggabungan tanah belum selesai dilakukan atas nama pemberi tanggungan.
d.    Roya atau pencoretan belum dilakukan.

Pendaftaran Hak tanggungan
Diatur dalam pasal 13 sampai dengan 14 UU No 4 Tahun 1996
Tata caranya  :
1.    Pendaftaran dilakukan di kantor pertanahan.
2.    Dilakukan 7 hari setelah ditandatangani
3.    Kantor apertanahan mencatat dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
4.    Tanggal buku tanah hak tanggungan adalah tanggal hari ke 7 setelah penerimaan secara lengkap surat2 yang diperlukan bagi pendaftarannya.
5.    Hak tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah hak tanggungan dibuatkan.
6.    Kantor pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan dengan irah2 demi keadilan berdasarkan Tuhan yang maha esa.

Hapusnya hak tanggungan
1.    Hapusnya hutang yang dijamin dengan hak tanggungan
2.    Dilepaskan hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan
3.    Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh ketua pengadilan negeri
4.    Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan .

Eksekusi Hak tanggungan
1.    Melalui pelelangan umumsebagaimana diatur pada Pasal 6
2.    Eksekusi atas titel Eksekutorial yang terdapat pada sertifikat hak tanggungan.
3.    Exsekusi di bawah tangan berdasarkan kesepakatan antara kreditur dengan debitur.
Setelah hutang selesai dibayar maka akan dilakukan roya.
Perbuatan melawan hukum
Kreditur yang boleh memfailitkan debiturnya adalah kreditur dengan status Kongkuren. Kreditur Separatis adalah kreditur yang tidak terkena dampak Failit.
Untuk mendapat fasilitas kredit ada yang pakai jaminan ada yang tidak pakai jaminan.
Konsekwenkah Hukum jaminan ?
Bisa kah satu bidang tanah dibebankan kepada beberapa kreditur, siapa yang lebih dilindungi terhadap pelunasan ? kreditur yang mendaftarkan terlebih dahulu.











   
7.    Judul        : Hak Tanggungan
Sumber    : pustakabakul.blogspot.com/
Penulis    : PUSTAKA BAHAN KULIAH
Diunduh    : Selasa, 25 Nopember 2014

HAK TANGGUNGAN
Pengertian Hak Tanggungan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagai induk peraturan perundang-undang tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan tanah, tidak mengatur secara tegas tentang Hak Tanggungan. Berdasarkan ketentuan Pasal 51 UUPA dinyatakan bahwa :
“Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan undang-undang”.

Selanjutnya ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHT pengertian Hak Tanggungan adalah:
“Hak Tanggungan adalah hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjunya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya”

Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan diharapkan akan memberikan suatu kepastian hukum tentang pengikatan jaminan dengan tanah berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sebagai jaminan yang pengaturannya selama ini menggunakan ketentuan-ketentuan Hypotheek dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT pada dasarnya adalah hak tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun, pada kenyataannya seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan turut pula dijaminkan. Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Tanah Nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan Horizontal, yang menjelaskan bahwa setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut. Penerapan asas tersebut tidak mutlak, melainkan selalu menyesuaikan dan memperhatikan dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat. Sehingga atas dasar itu UUHT memungkinkan dilakukan pembebanan Hak Tanggungan yang meliputi benda-benda diatasnya sepanjang benda-benda tersebut merupakan satu kesatuan dengan tanah bersangkutan dan ikut dijadikan jaminan yang dinyatakan secara tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Menurut Purwahid Patrik, dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan disebutkan bahwa Hak Tanggungan sebagai lembaga jaminan atas tanah yang kuat harus mengandung ciri-ciri :

1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya (droit de preference), hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat (1); Apabila debitor cidera janji (wanprestasi), maka kreditor pemegang hak tanggungan berhak menjual tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut melalui pelelangan umum dengan hak mendahului dari kreditor yang lain.
2. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu berada (droit de suite), hal ini ditegaskan dalam Pasal 7; Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Meskipun obyek Hak Tanggungan telah berpindah tangan dan mejadi milik pihak lain, namun kreditor masih tetap dapat menggunakan haknya untuk melakukan eksekusi apabila debitor cidera janji (wanprestasi).
3. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, hal ini diatur dalam Pasal 6. Apabila debitor cidera janji (wanprestasi), maka kreditor tidak perlu menempuh acara gugatan perdata biasa yang memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Kreditor pemegang Hak Tanggungan dapat menggunakan haknya untuk menjual obyek hak tanggungan melalui pelelangan umum. Selain melalui pelelangan umum berdasarkan Pasal 6, eksekusi obyek hak tanggungan juga dapat dilakukan dengan cara “parate executie” sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 158 RBg bahkan dalam hal tertentu penjualan dapat dilakukan dibawah tangan.

Hak Tanggungan membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan dan setiap bagian darinya. Dengan telah dilunasinya sebagian dari hutang yang dijamin hak tanggungan tidak berarti terbebasnya sebagian obyek hak tanggungan beban hak tanggungan, melainkan hak tanggungan tersebut tetap membebani seluruh obyek hak tanggungan untuk sisa hutang yang belum terlunasi. Dengan demikian, pelunasan sebagian hutang debitor tidak menyebabkan terbebasnya sebagian obyek hak tanggungan. Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan dijelaskan bahwa hak tanggungan bersifat tidak dapat dibagibagi (ondeelbaarheid). Sifat tidak dapat dibagi-bagi ini dapat disimpangi asalkan hal tersebut telah diperjanjikan terlebih dahulu dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Sehingga, hak tanggungan hanya membebani sisa dari obyek hak tanggungan untuk menjamin sisa hutang yang belum dilunasi asalkan hak tanggungan tersebut dibebankan kepada beberapa hak atas tanah yang terdiri dari beberapa bagian yang masingmasing merupakan suatu kesatuan yang berdiri sendiri dan dapat dinilai secara tersendiri.








8.    Judul        : Hak Tanggungan Sebagai Syarat Dalam Fasilitas Pembiayaan
                        Dengan Jaminan Sertifikat Tanah
Sumber    : Hak Tanggungan Sebagai Syarat Dalam Fasilitas ...
Penulis    : arthamadani.co.id/?p=24
Diunduh    : Jumat, 28 Nopember 2014

HAK TANGGUNGAN SEBAGAI SYARAT DALAM FASILITAS PEMBIAYAAN DENGAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH
Mengapa setiap nasabah yang ingin mengajukan fasilitas pembiayaan  dengan jaminan sertifikat tanah harus dibebani dengan Hak Tanggungan oleh Bank kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat untuk menjamin pelunasan fasilitas pembiayaan yang diterimanya. Dan apakah kalau rumah tersebut sudah dibebani dengan Hak Tanggungan, seseorang masih bisa tinggal di rumah tersebut ?
Namun pada dasarnya, seluruh harta benda orang yang berutang adalah merupakan jaminan atas pelunasan utang orang tersebut, hal ini ditegaskan dalam pasal 1131 dan pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) .
Pasal 1131 KUHPer ;
“Segala Kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”
Pasal 1132 KUHPer ;
“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”
Artikel singkat ini akan menjelaskan mengenai Hak Tanggungan. Hak Tanggungan adalah bentuk hak jaminan atas tanah berikut benda lainnya yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dengan tanah tersebut. Hak Tanggungan ini memberikan/mempunyai hak “Preference” kepada kreditur tersebut dalam hal ini adalah Bank. Artinya Bank mempunyai keutamaan untuk mengeksekusi jaminan tersebut terlebih dahulu dari pada kreditur lainnya, jika suatu saat debitur cidera janji/Wanprestasi.
Misalkan, seseorang menerima fasilitas pembiayaan dari Bank Sebesar Rp. 100.000.000,- (Seratus Juta Rupiah). Kemudian agar Bank merasa yakin bahwa orang tersebut akan melunasi fasilitas pembiayaan yang diterimanya tersebut, maka Bank menerima jaminan berupa rumah yang didirikan diatas tanah Hak Milik atas nama debitur sendiri. Kemudian berlanjut untuk proses penandatangan Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut, yang kemudian pengesahan itu akan tercantum pula di dalam sertifikat Asli milik debitur. Dan selanjutnya sertifikat Asli itu akan disimpan oleh Bank.
Dengan demikan, apabila satu dan lain hal terjadi dikemudian hari atas pembiayaan debitur sehingga tidak bisa memenuhi kewajibannya untuk mengangsur atau menjadi kredit macet, Bank akan melakukan penjualan secara lelang atas tanah dan bangunan dimaksud serta mengambil sebagian pelunasan atas sisa utang debitur yang masih ada pada Bank. Jika didapati masih bersisa, kemudian sisa uang tersebut akan dikembalikan kepada debitur sebagai pemilik sertifikat. Dengan dibebaninya rumah dan tanah debitur oleh jaminan yaitu berupa Hak Tanggungan, walaupun masih bisa menempati rumah dan tanah tersebut debitur tidak sendirian lagi dalam memiliki rumah dan tanah tersebut, tetapi bersama-sama dengan Bank.
Artinya jika suatu saat debitur akan menyewakan tanah tersebut, mengubah struktur bangunan yang pada intinya mengurangi nilai rumah tersebut, atau terlebih hendak akan menjual rumah dan tanah tersebut, maka harus mendapat persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Pihak Bank.
Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada tanah-tanah hak Primer yaitu:
1.    Hak Milik,
2.    Hak Guna Bangunan,
3.    Hak Guna Usaha,
4.    Hak pakai yang punya nilai ekonomis, dan
5.    Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.
Ciri dan Sifat Hak Tanggungan
Sebagai jaminan untuk suatu pemenuhan kewajiban debitur kepada Bank, Hak Tanggungan mempunyai ciri dan sifat khusus.
1.    Hak Tanggungan bersifat memberikan Hak Preference (droit de prefence) atau kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu dari pada kreditur lainnya.
2.    Hak tanggungan mengikuti tempat benda berada (droit de suite). Ini merupakan salah satu kekuatan lain hak tanggungan. Jadi walaupun tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan tersebut dialihkan kepada pihak atau orang lain (dalam hal ini misalnya dijual), Hak Tanggungan tersebut tetap melekat pada tanah tersebut, sepanjang belum dihapuskan dalam praktiknya sering juga disebut dengan istilah dilakukan “Roya” oleh pemegang hak tanggungan.
3.    Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, kecuali telah diperjanjikan sebelumnya. Hak tanggungan yang melekat pada suatu jaminan berupa tanah dan bangunan, tidak dapat ditetapkan hanya melekat disebagian bidang tanah atau rumah tersebut. Namun dapat pula diperjanjikan bahwa Hak Tanggungan yang membebani beberapa bidang tanah, dapat dihapuskan secara sebagian-sebagian, sesuai dengan proporsi pelunasan fasilitas pembiayaan yang dilakukan oleh debitur.
4.    Hak Tanggungan dapat digunakan untuk menjamin utang yang sudah ada atau yang akan ada.
Jika utang yang sudah ada, tentunya sudah jelas, tetapi untuk utang yang akan ada seperti apa? Yang dimaksud dengan utang yang akan ada adalah utang yang pada       saat dibuat dan ditandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut belum ditetapkan jumlah ataupun bentuknya. Dalam setiap APHT disebutkan bahwa debitur punya sejumlah utang tertentu, yang dituliskan’……..yang dibuktikan dengan akta perjanjian kredit tertanggal (hh-bb-tt), Nomor xxx, yang dibuat dihadapan xxxx, Notaris di xxx berikut perubahannya dan/atau penambahannya…..’Misalnya, pada saat akta tersebut dibuat jumlah utang debitur masih sebesar Rp 100.000.000,- (Seratus Juta Rupiah). Kemudian karena nilai Hak Tanggungan yang  dipasang masih cukup untuk penambahan Plafon Kredit, pada saat debitur memperoleh tambahan kredit sebesar Rp. 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah) dia tidak dibebani dengan Hak Tanggungan baru. Hanya cukup menunjuk kepada jaminan yang sudah pernah diberikan oleh debitur dengan nilai utang yang dijaminnya bertambah menjadi Rp. 150.000.000,- (Seratus Lima Puluh Juta Rupiah).
5.    Hak Tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial.
Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekusi tanpa melalui putusan pengadilan melalui penjualan di muka umum. Namun demikian, hal yang menarik dalam praktiknya adalah pada saat pemilik jaminan melakukan penawaran atas upaya kreditur untuk melelang tanah dan bangunan yang dijaminkan, kreditur masih   tetap membutuhkan bantuan pengadilan untuk mengeksekusi jaminan yang sudah dibebani Hak Tanggungan.
6.    Hak Tanggungan memiliki sifat spesialitas dan publisitas.
Sifat spesialitas dan publisitas yang menyebabkan timbulnya hak Preference kreditur. Dalam hal terjadi peristiwa kepailitan debitur, Hak Preference kreditur tersebut tidak     hilang dan menjadi separatis. Artinya, kreditur punya hak terpisah atas obyek yang dibebani Hak Tanggungan tersebut. Oleh karena itu kreditur berhak mendapatkan pelunasan utang terlebih dahulu dari hasil penjualan tanah atau bangunan sebagai   jaminan. Dengan adanya publisitas tersebut pihak ketiga (Siapa pun) bisa mengecek status tanah tersebut melalui kantor pertanahan setempat. Tujannya menghindari terjadinya suatu transaksi peralihan hak atas tanah dimaksud tanpa persetujuan dari kreditur selaku pemegang Hak Tanggungan.
Demikian penjelasan singkat tentang pengertian Hak Tanggungan untuk debitur / Nasabah yang akan memperoleh fasilitas pembiayaan dari Bank atau lembaga keuangan lainnya. Jadi, Hak Tanggungan adalah bentuk Hak jaminan atas tanah berikut benda lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut yang digunakan Kreditur (Bank) untuk memperoleh jaminan atas pelunasan utang dari debiturnya.

Sumber :
1.    l  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
2.    l  UU. No.4 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta Benda-benda lain yang melekat diatasnya
3.    l  Irma Devita Purnamasari,S.H.,M.Kn. Praktisi Hukum dalam Hukum Jaminan Perbankan.


















9.    Judul        : Hak Tanggungan Dalam Praktek
Sumber    : Hak Tanggungan Dalam Praktek – Irma Devita – Info ...
Penulis    : irmadevita.com/2013/hak-tanggungan-dalam-praktek/
Diunduh    : Jumat, 28 Nopember 2014

Hak Tanggungan Dalam Praktek
“Pak, nanti atas tanah bapak akan dibebani dengan Hak Tanggungan untuk menjamin pelunasan fasilitas kredit yang bapak terima ya..” Suatu hari seorang Notaris sedang melaksanakan proses penanda-tanganan akad kredit dan saat itu sedang menjelaskan mengenai pemberian fasilitas kredit dari sebuah Bank kepada Pak Shaleh (51 tahun) salah seorang kliennya. “Hak Tanggungan itu apa ya bu? Apakah kalau rumah saya dibebani dengan Hak Tanggungan seperti yang ibu sampaikan, saya masih bisa tinggal di rumah tersebut?”
Baiklah pak, saya jelaskan ya mengenai Hak Tanggungan itu apa. Jadi begini pak, Hak Tanggungan itu adalah bentuk hak jaminan atas tanah berikut benda benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, yang digunakan oleh kreditur (biasanya Bank) untuk memperoleh jaminan atas pelunasan hutang dari debitur nya. Hak Tanggungan ini memberikan hak preference kepada kreditur tersebut. Sebelum adanya UU No. 4 tahun 1996 dalam KUHPerdata disebut “Hipotik”.
Contohnya:
bapak menerima fasilitas kredit dari Bank BRI sebesar Rp. 100jt. Nah, untuk supaya Bank merasa yakin bapak akan melunasi fasilitas kredit yang bapak terima dari BRI, maka sekarang bapak harus menyerahkan sebagai jaminan berupa rumah yang didirikan di atas tanah Hak Milik atas nama bapak sendiri. Kemudian, sekarang bapak menanda-tangani akta Pemberian Hak Tanggungan. Selanjutnya di dalam sertifikat bapak, selain asli sertifikat tersebut di simpan oleh Bank, maka pemberian Hak Tanggungan tersebut juga akan di daftarkan pada Kantor Pertanahan setempat dan ditulis juga di dalam asli sertifikat bapak. Dengan demikian, apabila suatu saat kredit yang bapak terima macet, maka Bank tinggal melakukan penjualan secara lelang atas tanah dan bangunan dimaksud dan mengambil sebagian pelunasan atas sisa hutang bapak yang masih ada pada Bank; kalau ada sisanya, maka sisanya akan dikembalikan kepada bapak sebagai pemiliki sertifikat. Jadi, Kalau misalnya rumah dan tanah bapak dilelang laku dengan harga Rp. 500jt sedangkan sisa hutang bapak hanyalah Rp. 100jt, maka bank hanya akan mengambil sebesar Rp. 100jt sedangkan sisanya di kembalikan kepada bapak lagi.
Oya pak… jangan lupa ya, dengan dibebaninya rumah dan tanah bapak dengan jaminan berupa hak tanggungan, walaupun bapak masih bisa menempati rumah dan tanah bapak, namun bapak sekarang tidak sendirian lagi memiliki rumah dan tanah bapak tersebut; melainkan bersama-sama dengan bank. Artinya, kalau suatu saat bapak akan menyewakan tanah tersebut, merubah struktur bangunan yang intinya mengurangi nilai dari rumah tersebut, atau bahkan hendak menjual rumah dan tanah tersebut, maka bapak harus mendapat persetujuan tertulis terlebih dahulu dari bank ya pak. Jangan lupa juga, kalau selama hutang bapak belum lunas, bapak harus mengasuransikan rumah dan tanah bapak tersebut dari bahaya kebakaran. Bahkan kalau perlu dari bahaya gempa bumi, banjir ataupun longsor.
“Mengapa harus saya asuransikan bu?” tukas bapak tersebut sambil melemparkan pandangannya kepada pejabat Bank yang ikut hadir dalam proses penanda-tanganan pemberian fasilitas kredit dimaksud.
“Sekarang kan rumah dan tanah bapak sudah dijadikan sebagai jaminan hutang kepada Bank, jadi kalau suatu saat nanti misalnya terjadi kebakaran atas rumah dan tanah tersebut, atau tiba-tiba ada gempa bumi yang mengakibatkan rumah dan tanah tersebut tertimbun longsor atau hancur, maka pihak asuransilah yang akan mengganti kerugian atas kejadian tersebut. Dimana uang klaim asuransi tersebut akan diberikan kepada Bank, untuk melunasi fasilitas kredit yang bapak terima. Kalau tidak diasuransikan, berarti kalau misalnya terjadi bahaya kebakaran, gempa bumi atau bencana alam lainnya, di satu sisi rumah bapak hancur, dan di sisi lain Bank juga tidak bisa mendapatkan jaminan pelunasan hutang bapak kepada Bank tersebut.
“Begitu ya bu“ pak shaleh mengangguk-angguk sambil tersenyum.
Demikianlah sekelumit pengertian dari Hak Tanggungan yang dijelaskan secara awam kepada nasabah/debitur yang akan memperoleh fasilitas kredit dari Bank atau Lembaga Keuangan lainnya.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996 , terjadi perubahan besar-besaran terhadap system dan metode penjaminan atas suatu hutang. Dimana sebelum berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tersebut, dengan berdasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat, Bank yang memberikan fasilitas kredit  hanyalah memberikan kewajiban kepada nasabah/debiturnya untuk menanda-tangani akta Surat Kuasa Memasang Hipotik yang dibuat secara Notariil, untuk menjamin pelunasan hutang dan/atau kewajiban dari debitur tersebut. Jadi, dalam hal si debitur mulai “batuk-batuk” atau dengan kata lain Bank sudah melihat bahwa debitur tersebut mulai macet atau kondisi keuangannya sudah tidak memungkinkan untuk mengembalikan fasilitas kredit yang diterimanya, maka Bank akan “memasang” atau dengan kata lain mendaftarkan Hipotik tersebut ke Kantor Pertanahan setempat. Setelah terdaftar, maka Bank dapat menjual lelang rumah dan/atau tanah tersebut untuk melunasi kewajiban dari debitur yang bersangkutan.
Sejak berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan pada tahun 1996 tentang Tanah beserta benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah (Selanjutnya untuk memudahkan akan disebut juga: “UUHT”) , Hipotik diganti istilahnya menjadi Hak Tanggungan. Pada saat itu, seluruh akta surat kuasa memasang hipotik yang sudah ada, harus di tindak lanjuti menjadi Hak Tanggungan dan didaftarkan langsung ke Kantor Pertanahan, walaupun debitur yang bersangkutan masih dalam kondisi baik dan melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian kreditnya.
Setelah diberlakukannya UUHT tersebut, maka setiap debitur yang menjaminkan tanah dan/atau bangunannya kepada kreditur (baik bank maupun bukan bank) untuk menjamin pelunasan fasilitas kredit yang diterimanya, maka diwajibkan untuk menanda-tangani akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) atau akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), yang akan dilanjutkan dengan pendaftaran Hak Tanggungannya pada Kantor Pertanahan dimana tanah tersebut di daftarkan.
Dalam UUHT tersebut diuraikan bahwa tidak semua hak  atas tanah dapat dibebani dengan Hak Tanggungan. Hak-Hak Atas Tanah yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan hanyalah hak-hak primer saja (mengenai jenis-jenis hak atas tanah ini sudah saya bahas dalam buku: “Kiat Cerdas Mudah dan Bijak Dalam Mengatasi Masalah Hukum Pertanahan”). Hak atas tanah yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan hanyalah tanah-tanah yang berstatus:
1.   Hak Milik
2. Hak Guna Bangunan
3. Hak Guna Usaha
4.   Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib di daftarkan dan dapat dipindah tangankan. Hak pakai yang dimaksud di sini adalah jenis Hak Pakai yang dimiliki oleh masyarakat umum dan dapat diperjual belikan. Biasanya Hak Pakai yang demikian memililiki jangka waktu hak tertentu. Jadi tentunya berbeda dengan Hak Pakai atas tanah-tanah yang digunakan oleh instansi pemerintahan, kedutaan besar atau konsulat asing, lembaga-lembaga asing lainnya. Hak Pakai yang demikian, jangka waktunya tidak ditetapkan dan dapat berlaku sepanjang masih diperlukan, serta tidak dapat dipindah tangankan kepada orang/pihak lain.
Disamping ke empat jenis hak atas tanah tersebut,  Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang didirikan di atas tanah suatu hak tertentu (Hak Milik atau Hak Guna Bangunan), dapat juga dibebani dengan Hak Tanggungan.


10.     Judul        : Hak Tanggungan
Sumber    : Belajar Hukum Yuk..!!!!: HAK TANGGUNGAN
Penulis    : yukalaw.blogspot.com/2012/02/hak-tanggungan.htm
Diunduh    : Jumat, 28 Nopember 2014

HAK TANGGUNGAN
Pengertian
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu terhadap kreditor-kreditor lain

Dasar hukum

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah

Objek Hak Tanggungan
1.    Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah

a. Hak Milik;
b. Hak Guna Usaha;
c. Hak Guna Bangunan.

2.    Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan.
3.    Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan,tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Subyek Hak Tanggungan
Subyek hak tanggungan adalah pihak-pihak yang membuat perjanjian pembebanan hak tanggungan, yaitu:
1.    Pemberi hak tanggungan (kreditur)
2.    Penerima hak tanggungan (debitur)

Asas
•    Droit de preference, memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya.
•    Droit de suit, selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun benda itu berada.
•    Memenuhi asas spesialis dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan. Spesialis, asas yang menghendaki bahwa hipotek hanya dapat diadakan atas benda-benda yang ditunjuk secara khusus. Publisitas, asas yang mengharuskan bahwa hipotek itu harus didaftarkan di dalam register umum, supaya dapat diketahui oleh pihak ketiga/umum.
•    Tak dapat dibagi-bagi (ondeedlbaarheid), hipotek itu membebani seluruh objek/benda yang dihipotekkan dalam keseluruhan atas setiap benda dan atas setiap bagian dari benda-benda tak bergerak.
•    Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya.

Prosedur
Prosedur pemberian hak tanggungan sesuai ketentuan Pasal 10 UU Nomor 4 tahun 1996, yaitu sebagai berikut:
1.    Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
2.    Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan perbuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
3.    Apabila obyek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pcndaftaran hak atas tanah yang bersangkutan.

Pendaftaran Hak Tanggungan
Pendaftaran Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 14 UU Nomor 4 Tahun 1996 sebagai berikut:
1.    Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.
2.    Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan Yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.
3.    Pendaftaran Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menjalin cacatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.
4.    Tanggal buku-tanah Hak Tanggungan scbagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperiukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku-tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya.
5.    Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku-tanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
6.    Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang beriaku.
7.    Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
8.    Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan beriaku sebagai pengganti grosse facte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.
9.    Kecuali apabila diperjanjikan lain, sertipikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
10.    Sertipikat Hak Tanggungan diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan.

Peralihan Hak Tanggungan
Pada dasranya hak tanggungan diatur dalam Pasal 16 dan Pasal 17 UU Nomor 4 Tahun 1996 sebagai berikut:
1.    Jlka piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan beralih karena cessie, subrogasi, pewarisan, atau sebab-sebab lain, Hak Tanggungan tersebut ikut beralih karena hukum kepada kreditor yang baru.
2.    Beralihnya Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan oleh kreditor yang baru kepada Kantor Pertanahan.
3.    Pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di lakukan oleh Kantor Pertanahan dengan mencatatnya pada buku tanah Hak Tanggungan dan buku-tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menjalin catatan tersebut pada sertifikat Hak Tanggungan dan sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.
4.    Tanggal pencatatan pada buku-tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tanggal hari ketujuh setelah diterimanya secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, catatan itu diberi bertanggal hari kerja berikutnya.
5.    Beralihnya Hak Tanggungan mulai berlaku bagi pihak ketiga pada hari tanggal pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Bentuk dan isi Akta Pemberian Hak Tanggungan, bentuk dan isi buku-tanah Hak Tanggungan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tata cara pemberian dan pendaftaran Hak Tanggungan ditetapkan dan diselenggarakan berdasarkan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Janji-janji Dalam Pemberian Hak Tanggungan
Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain :
a.    Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan obyek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
b.    Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan obyek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
c.    Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi Ietak obyek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh cidera janji;
d.    Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk, mcnyelamatkan obyek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang meniadi obyek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang;
e.    Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mcmpunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cideta janji;
f.    Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan;
g.    Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
h.    Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan tidak akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan Untuk pelunasan piutangnya apabila obyek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum;
i.    Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan mempcroleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika obyek Hak Tanggungan diasuransikan;
j.    Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan;
k.    Janji yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4).
Hapusnya Hak Tanggungan
Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut :
a.    hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
b.    dilepaskannya Hak Tanggungan oleb pemegang Hak Tanggungan;
c.    pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
d.    hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

Eksekusi Hak Tanggungan
1.    Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan :
a.    hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalain Pasal 6, atau
b.    titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2),

obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.
2.    Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak -Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.
3.    Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2(dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.
4.    Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan pada ayat (I), ayat (2), dan ayat (3) batal demi hukum.
5.    Sampai saat pengumumam untuk lelang dikeluarkan, penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihindarkan dengan pelunasan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan.

Pencoretan Hak Tanggungan
1.    Setelah Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku-tanah hak atas tanah dan sertipikatnya.
2.    Dengan hapusnya Hak Tanggungan , sertipikat Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama buku-tanah Hak Tanggungan dinyatakan tidak beriaku lagi oleh Kantor Pertanahan.
3.    Apabila sertipikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) karena sesuatu sebab tidak dikembalikan kepada Kantor Pertanahan, hal tersebut dicatat pada buku -tanah Hak Tanggungan.
4.    Permohonan pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengn melarnpirkan sertipikat Hak Tanggungan yang telah diberi catatan oleh kreditor bahwa Hak Tanggungan hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu sudah lunas, atau pernyataan tertulis dari kreditor bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan yang bersangkutan.
5.    Apabila kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan perintah pencoretan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat Hak Tanggungan yang bersangkutan didaftar.
6.    Apabila permohonan perintah pencoretan timbul dari sengketa yang sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri lain, permohonan tersebut harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan.
7.    Permohonan pencoretan catatan Hak Tanggungan berdasarkan perintah Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan melampirkan salinan penetapan atau putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
8.    Kantor Pertanahan melakukan pencoretan catatan Hak Tanggungan menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang beriaku dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (7).
9.    Apabila pelunasan utang dilakukan dengan cara angsuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), hapusnya Hak Tanggungan pada bagian obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan dicatat pada buku tanah dan sertipikat Hak Tanggungan serta pada bukutanah dan sertipikat hak atas tanah yang telah bebas dari Hak Tanggungan yang semula membebaninya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar