C.
DASAR
HUKUM JAMINAN
1.
Judul : Dasar Hukum Jaminan
Sumber : legalbanking.wordpress.com
Diunduh : Selasa, 25
Nopember 2014
A. PERJANJIAN PADA UMUMNYA
Menurut
Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa
ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang
disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing
pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan.
A.1.
Azas-azas Hukum Perjanjian
Ada beberapa azas yang
dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua diantaranya yang
merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:
- Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
- Azas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
A.2. Syarat Sahnya
Perjanjian
Dalam Pasal 1320 KUH
Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat,
yaitu:
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.
- Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.
Mengenai kecakapan Pasal
1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang cakap melakukan perbuatan hukum
kecuali yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330
KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu
perjanjian yakni:
-
Orang yang belum dewasa.
Mengenai kedewasaan
Undang-undang menentukan sebagai berikut:
(i)
Menurut Pasal 330 KUH Perdata: Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat
perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah
menikah dan sehat pikirannya.
(ii)
Menurut Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang
Undang-Undang Perkawinan (“Undang-undang Perkawinan”): Kecakapan bagi
pria adalah bila telah mencapai umur 19 tahun, sedangkan bagi wanita apabila
telah mencapai umur 16 tahun.
-
Mereka yang berada di bawah pengampuan.
-
Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan
berlakunya Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).
-
Semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
- Mengenai suatu hal tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus mengenai suatu obyek tertentu.
- Suatu sebab yang halal, yaitu isi dan tujuan suatu perjanjian haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban
Syarat No.1 dan No.2
disebut dengan Syarat Subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau
subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat No.3 dan No.4
disebut Syarat Obyektif, karena mengenai obyek dari suatu
perjanjian.
Apabila syarat subyektif
tidak dapat terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya
perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah
pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya)
secara tidak bebas.
Jadi, perjanjian yang telah
dibuat itu akan terus mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian,
selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta
pembatalan tersebut.
Sedangkan apabila syarat
obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian itu akan batal demi hukum.
Artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah
ada suatu perikatan.
A.3.
Kelalaian/Wanprestasi
Kelalaian atau Wanprestasi
adalah apabila salah satu pihak yang mengadakan perjanjian, tidak melakukan apa
yang diperjanjikan.
Kelalaian/Wanprestasi yang
dilakukan oleh salah satu pihak dapat berupa empat macam, yaitu:
- Tidak melaksanakan isi perjanjian.
- Melaksanakan isi perjanjian, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
- Terlambat melaksanakan isi perjanjian.
- Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
A.4.
Hapusnya Perjanjian
Hapusnya suatu perjanjian
yaitu dengan cara-cara sebagai berikut:
a. Pembayaran
Adalah setiap pemenuhan hak
dan kewajiban para pihak dalam perjanjian secara sukarela. Berdasarkan
pasal 1382 KUH Perdata dimungkinkan menggantikan hak-hak seorang
kreditur/berpiutang. Menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang dinamakan
subrogatie. Mengenai subrogatie diatur dalam pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH
Perdata. Subrogatie dapat terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan karena
Undang-undang (Pasal 1402 KUH Perdata).
b. Penawaran pembayaran
tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan uang atau barang pada Panitera
Pengadilan Negeri
Adalah suatu cara
pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak
pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur menolak pembayaran, debitur
dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan penawaran pembayaran
itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau barang sebagai tanda pelunasan
atas utang debitur kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Setelah penawaran
pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang yang akan
dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri,
dengan demikian hapuslah utang piutang itu.
c. Pembaharuan
utang atau novasi
Adalah suatu pembuatan
perjanjian baru yang menggantikan suatu perjanjian lama. Menurut Pasal
1413 KUH Perdata ada 3 macam cara melaksanakan suatu pembaharuan utang atau
novasi, yaitu yang diganti debitur, krediturnya (subyeknya) atau obyek dari
perjanjian itu.
d. Perjumpaan
utang atau Kompensasi
Adalah suatu cara
penghapusan/pelunasan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan
utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan debitur. Jika
debitur mempunyai suatu piutang pada kreditur, sehingga antara debitur dan
kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu dengan lainnya.
Menurut pasal 1429 KUH
Perdata, perjumpaan utang ini dapat terjadi dengan tidak membedakan darimana
sumber utang-piutang antara kedua belah pihak itu telah terjadi, kecuali:
(i)
Apabila penghapusan/pelunasan itu dilakukan dengan cara yang
berlawanan dengan hukum.
(ii)
Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan
atau dipinjamkan.
(iii)
Terdapat sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang
telah dinyatakan tak dapat disita (alimentasi).
e. Percampuran
utang
Adalah apabila kedudukan
sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada
satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana
utang-piutang itu dihapuskan, misalnya: debitur menikah dengan krediturnya,
atau debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal oleh krediturnya.
f. Pembebasan
utang
Menurut pasal 1439 KUH
Perdata, Pembebasan utang adalah suatu perjanjian yang berisi kreditur dengan
sukarela membebaskan debitur dari segala kewajibannya.
g. Musnahnya
barang yang terutang
Adalah jika barang tertentu
yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau
hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka
hapuslah perikatannya, jika barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si
berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
h.
Batal/Pembatalan
Menurut pasal 1446 KUH
Perdata adalah, pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat antara kedua belah
pihak yang melakukan perjanjian, dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim,
bila salah satu pihak yang melakukan perjanjian itu tidak memenuhi syarat subyektif
yang tercantum pada syarat sahnya perjanjian.
Menurut Prof. Subekti
permintaan pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi
syarat subyektif dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu:
(i)
Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian tersebut di depan
hakim;
(ii)
Secara pembelaan maksudnya adalah menunggu sampai digugat di depan
hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru mengajukan kekurangan dari perjanjian
itu.
- i. Berlakunya suatu syarat batal
Menurut pasal 1265 KUH
Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan
perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah
tidak penah terjadi perjanjian.
j. Lewat
waktu
Menurut pasal 1946 KUH
Perdata, daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu
atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu
tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dalam pasal 1967 KUH
Perdata disebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan,
maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu
tiga puluh tahun. Dengan lewatnya waktu tersebut, maka perjanjian yang
telah dibuat tersebut menjadi hapus.
B.
STRUKTUR PERJANJIAN
Struktur atau kerangka dari
suatu perjanjian, pada umumnya terdiri dari:
- Judul/Kepala
- Komparisi yaitu berisi keterangan-keterangan mengenai para pihak atau atas permintaan siapa perjanjian itu dibuat.
- Keterangan pendahuluan dan uraian singkat mengenai maksud dari para pihak atau yang lazim dinamakan “premisse”.
- Isi/Batang Tubuh perjanjian itu sendiri, berupa syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
- Penutup dari Perjanjian.
C.
BENTUK PERJANJIAN
Perjanjian dapat berbentuk:
- Lisan
- Tulisan, dibagi 2 (dua), yaitu:
-
Di bawah tangan/onderhands
-
Otentik
C.1.
Pengertian Akta
Akta adalah suatu tulisan
yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa
dan ditandatangani pihak yang membuatnya.
Berdasarkan ketentuan pasal
1867 KUH Perdata suatu akta dibagi menjadi 2 (dua), antara lain:
a. Akta Di bawah
Tangan (Onderhands)
b. Akta Resmi (Otentik).
Akta Di bawah Tangan
Adalah akta yang dibuat
tidak di hadapan pejabat yang berwenang atau Notaris. Akta ini yang dibuat dan
ditandatangani oleh para pihak yang membuatnya. Apabila suatu akta di
bawah tangan tidak disangkal oleh Para Pihak, maka berarti mereka mengakui dan
tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis pada akta di bawah tangan
tersebut, sehingga sesuai pasal 1857 KUH Perdata akta di bawah tangan tersebut
memperoleh kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu Akta Otentik.
Perjanjian di bawah tangan
terdiri dari:
(i)
Akta di bawah tangan biasa
(ii) Akta
Waarmerken, adalah suatu
akta di bawah tangan yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak untuk
kemudian didaftarkan pada Notaris, karena hanya didaftarkan, maka Notaris tidak
bertanggungjawab terhadap materi/isi maupun tanda tangan para pihak dalam dokumen
yang dibuat oleh para pihak.
(iii) Akta
Legalisasi, adalah suatu akta di bawah tangan yang dibuat oleh para
pihak namun penandatanganannya disaksikan
oleh atau di hadapan Notaris,
namun Notaris tidak
bertanggungjawab terhadap materi/isi dokumen melainkan Notaris hanya
bertanggungjawab terhadap tanda tangan para pihak yang bersangkutan dan tanggal
ditandatanganinya dokumen tersebut.
Akta Resmi (Otentik)
Akta Otentik ialah akta
yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang yang memuat atau menguraikan
secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat
atau disaksikan oleh pejabat umum pembuat akta itu. Pejabat umum yang
dimaksud adalah notaris, hakim, juru sita pada suatu pengadilan, pegawai
pencatatan sipil, dan sebagainya.
Suatu akta otentik
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para pihak beserta seluruh
ahli warisnya atau pihak lain yang mendapat hak dari para pihak. Sehingga
apabila suatu pihak mengajukan suatu akta otentik, hakim harus menerimanya dan menganggap
apa yang dituliskan di dalam akta itu sungguh-sungguh terjadi, sehingga hakim
itu tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.
Suatu akta otentik harus
memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
(i)
Akta itu harus dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum.
(ii) Akta
itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
(iii) Pejabat
umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk
membuat akta itu.
C.2.
Perbedaan antara Akta Otentik dan Akta Di bawah Tangan
No.
|
Perbedaan
|
Akta Otentik
|
Akta Di bawah tangan
|
1.
2.
3.
4.
5.
|
Definisi
Materi
Pembuktian
Penggunaannya
Penyimpanan
|
Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat
Umum (a.l. Notaris)
Apa yang tercantum pada
isi Akta otentik berlaku sebagai sesuatu yang benar (bukti sempurna), kecuali
dapat dibuktikan sebaliknya dengan alat bukti lain.
Bilamana disangkal oleh
pihak lain maka pihak yang menyangkal itulah yang harus membuktikan bahwa
akta itu tidak benar, dan akta otentik mempunyai tanggal yang pasti.
Dalam hal tertentu
mempunyai kekuatan eksekutorial.
Kemungkinan hilang lebih
kecil, sebab oleh Undang-undang ditentukan, bahwa Notaris diwajibkan untuk
menyimpan asli akta secara rapi di dalam lemari besi tahan api.
|
Akta yang dibuat oleh dan ditandatangani para
pihak
Apa yang tercantum pada
isi akta di bawah tangan (tulisan atau tanda tangannya) dapat merupakan
kekuatan bukti yang sempurna selama tidak disangkal oleh pihak-pihak yang
menggunakan akta tersebut.
Bilamana tulisan atau
tanda tangannya disangkal oleh pihak lain, maka pihak yang memakai akta
itulah yang harus membuktikan bahwa akta itu adalah benar.
Tidak pernah mempunyai
kekuatan eksekutorial.
Kemungkinan hilang lebih
besar.
|
Daftar Pustaka
Buku
- Subekti, R, Prof, S.H. dan Tjitrosudibio, R, 2001, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Cetakan ke-31, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
- Subekti, R, Prof, S.H., Hukum Perjanjian, Cetakan ke-VIII, PT Intermasa.
2.
Judul :
Jaminan Dalam KUHPerdata
Penulis : orintononline.blogspot.com/.../hukum-jaminan-1.html
Diunduh : Selasa, 25
Nopember 2014
DASAR
HUKUM JAMINAN
JAMINAN DALAM
KUHPERDATA
(Orinton Purba)
Dalam KUHPerdata jaminan merupakan hak
kebendaan dan merupakan bagian dari hk benda yang diatur dalam Buku II
KUHPerdata. Dilihat dari sistematika KUHPerdata maka seolah-olah hukum jaminan
hanya merupakan jaminan kebendaan saja,
karena pengaturan jaminan kebendaan
terdapat dalam buku II tentang benda, sedangkan
perjanjian jaminan perorangan (personal guaranty) seperti perjanjian
penangungan (borgtocht) di dalam KUHPerdata merupakan salah satu jenis perjanjian yg diatur dalam
buku III tentang perikatan. Sebenarnya baik perjanjian jaminan kebendaan maupun
jaminan perorangan keduanya timbul dari
perjanjian, hanya dalam sistematika KUHPerdata dipisahkan letaknya, maka
seakan-akan hanya jaminan kebendaan yg
merupakan obyek hukum jaminan.
Menurut
KUHPerdata Jaminan terbagi dua yaitu Jaminan
Umum Dan Jaminan Khusus. Dasar Hukum
Jaminan UMUM adalah Pasal 1131 BW. menetapkan bahwa
segala kebendaan si berutang (debitor)
baik yg bergerak maupun yg baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan
untuk sgl perikatannya perseorangan. Dari rumusan tsb dapat disimpulkan bahwa kekayaan seorang dijadikan
JAMINAN untuk semua kewajibannya, yaitu semua utangnya. Dalam hukum Jerman ini
disebut Haftung.
Dasar hukum Jaminan Khusus adalah Pasal 1133 dan Ps. 1134 BW. Jaminan Umum Adalah : Jaminan
yg lahir karena ketentuan UU. Misalnya Si Hasan pinjam uang kepada Si
Janu sebesar Rp. 100.000 untuk membayar KAS. Jaminan Khusus adalah Jaminan
yang lahir karena diperjanjikan. Misalnya : Pak roni seorang pengusaha
di bidang garmen meminjam uang kepada Bank BCA sebesar RP. 1 miliar dengan jaminan
rumah dan tanah yg ia miliki. (Hak Tanggungan).
JAMINAN kEBENDAAN
Yg dimaksud dengan jaminan kebendaan
adalah adanya benda tertentu yang diikat secara khusus. Misalnya : Pak wisnu
pinjam uang ke BANK Mandiri dengan
jaminan sertifikat hak atas tanahnya yang luas 2000 m2 (Hak Tanggungan).
Sedangkan Jaminan perorangan adalah adanya kesanggupan pihak ke tiga untuk
memenuhi kewajiban (utang) debitur apabila debitur wanprestasi.
Contoh
Jaminan Perorangan:
Bu Aminah seorang dosen Fakultas Hukum
meminjam uang sebesar Rp. 30 juta dengan jaminan Rektornya Si ani seorang buruh
pabrik meminjam uang pada Bank Mandiri sebesar 5 juta yang menjamin adalah
Direkturnya. Jadi dalam hukum jaminan
perorangan harus ada hubungan antara si peminjam dengan si penjamin yaitu
hubungan antara atasan dan bawahan dan hubungan antara buruh dan majikan.
Istilah jaminan perorangan berasal dari kata borgtocht, dan ada juga yang
menyebutkan dengan istilah jaminan imateriil.
Pengertian jaminan perorangan menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan,
mengartikan jaminan imateriil (perorangan) adalah: “Jaminan yang menimbulkan
hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap
debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya”.
Unsur jaminan perorangan, yaitu: (1).
mempunyai hubungan langsung pada orang tertentu; (2). hanya dapat dipertahankan terhadap
debitur tertentu; dan terhadap harta kekayaan deitur umumnya.
Soebekti mengartikan jaminan perorangan adalah: “Suatu perjanjian antara
seorang berpiutang (kreditur) dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya
kewajiban si berhutang (debitur). Ia bahkan dapat diadakan di luar (tanpa) si
berhutang tersebut”. Menurut Soebekti juga, bahwa maksud adanya jaminan ini
adalah untuk pemenuhan kewajiban si berhutang, yang dijamin pemenuhannya
seluruhnya atau sampai suatu bagian tertentu, harta benda si penanggung
(penjamin) dapat disita dan dilelang menurut ketentuan perihal pelaksanaan
eksekusi putusan pengadilan.
Jenis-Jenis
Jaminan Perorangan
- Jaminan penanggungan (borgtocht) adalah kesanggupan pihak ketiga untuk menjamin debitur .
- Jaminan garansi (garansi bank) (Pasal 1316 KUH Perdata), yaitu bertanggung jawab guna kepentingan pihak ketiga.
- Jaminan Perusahaan
Dari jenis jaminan perorangan tersebut, maka dalam
sub-sub bab berikut ini hanya disajikan yang berkaitan dengan penanggungan
utang dan garansi bank.
Penanggungan
Utang
Perjanjian penanggungan utang diatur dalam
Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata. Yang diartikan dengan
penanggungan adalah: “Suatu perjanjian, di mana pihak ketiga, demi kepentingan
kreditur, mengikatkan dirinya untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur
itu tidak memenuhi perikatannya” (Pasal 1820 KUH Perdata).
Apabila diperhatikan definisi tersebut,
maka jelaslah bahwa ada tiga pihak yang terkait dalam perjanjian penanggungan
utang, yaitu pihak kreditur, debitur, dan pihak ketiga. Kreditur di sini
berkedudukan sebagai pemberi kredit atau orang berpiutang, sedangkan debitur
adalah orang yang mendapat pinjaman uang atau kredit dari kreditur. Pihak
ketiga adalah orang yang akan menjadi penanggung utang debitur kepada kreditur,
manakala debitur tidak memenuhi prestasinya. Alasan adanya perjanjian
penanggungan ini antara lain karena si penanggung mempunyai persamaan
kepentingan ekonomi dalam usaha dari peminjam (ada hubungan kepentingan antara
penjamin dan peminjam), misalnya si penjamin sebagai direktur perusahaan selaku
pemegang seham terbanyak dari perusahaan tersebut secara pribadi ikut menjamin
hutang-hutang perusahaan tersebut dan kedua perusahaan induk ikut menjamin
hutang perusahaan cabang. Sifat perjanjian penanggungan utang adalah bersifat
accesoir (tambahan), sedangkan perjanjian pokoknya adalah perjanjian kredit
atau perjanjian pinjam uang antara debitur dengan kreditur.
Akibat-akibat
Penanggungan antara Kreditur dan Penanggung
Pada prinsipnya, penanggung utang tidak
wajib membayar utang debitur kepada kreditur, kecuali jika debitur lalai
membayar utangnya. Untuk membayar utang debitur tersebut, maka barang kepunyaan
debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya (Pasal
1831 KUH Pedata). Penanggungan tidak dapat menuntut supaya barang milik debitur
lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya jika:
- Ia (penanggung utang) telah melepasakan hak istimewanya untuk menuntut barang-barang debitur lebih dahulu disita dan dijual;
- Ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan debitur utama secara tanggung menanggung; dalam hal itu akibat-akibat perikatannya diatur menurut asas-asas utang-utang tanggung menanggung;
- Debitur dapat mengajukan suatu eksepsi yang hanya mengenai dirinya sendiri secara pribadi;
- Debitur dalam keadaan pailit; dan
- Dalam hal penanggungan yang diperintahkan hakim (Pasal 1832 KUH Perdata).
Akibat-akibat Penanggungan antara Debitur
dan Penanggung dan antara Para Penanggung Hubungan hukum antara penanggung
dengan debitur utama adalah erat kaitannya dengan telah dilakukannya pembayaran
hutang debitur kepada kreditur. Untuk itu, pihak penanggung menuntut kepada
debitur supaya membayar apa yang telah dilakukan oleh penanggung kepada
kreditur. Di samping penanggungan utang juga berhak untuk menuntut: Pokok dan
bunga; Pengantian biaya, kerugian, dan bunga. Di samping itu, penanggung juga dapat
menuntut debitur untuk diberikan ganti rugi atau untuk dibebaskan dari suatu
perikatan, bahkan sebelum ia membayar utangnya:
- Bila ia digugat di muka hakim untuk membayar;
- Bila debitur berjanji untuk membebaskannya dari penanggungannya pada suatu waktu tertentu;
- Bila utangnya sudah dapat ditagih karena lewatnya jangka waktu yang telah ditetapkan untuk pembayarannya;
- Setelah lewat sepuluh tahun, jika perikatan pokok tidak mengandung suatu jangka waktu tertentu untuk pengakhirannya, kecuali bila perikatan pokok sedemikian sifatnya, sehingga tidak dapat diakhir sebelum lewat waktu tertentu.
Hubungan antara para penanggung dengan
debitur disajikan berikut ini. Jika berbagai orang telah mengikatkan dirinya
sebagai penanggung untuk seorang debitur dan untuk utang yang sama, maka
penanggung yang melunasi hutangnya berhak untuk menuntut kepada penanggung yang
lainnya, masing-masing untuk bagiannya.
Hapusnya
Penanggungan Utang
Hapusnya penanggungan utang diatur dalam
Pasal 1845 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata. Di dalam Pasal 1845 KUH
Perdata disebutkan bahwa perikatan yang timbul karena penanggungan, hapus
karena sebab-sebab yang sama dengan yang menyebabkan berakhirnya perikatan
lainnya. Pasal ini menunjuk kepada Pasal 1381, Pasal 1408, Pasal 1424, Pasal 1420, Pasal 1437, Pasal 1442, Pasal 1574, Pasal
1846, Pasal 1938, dan Pasal 1984 KUH Perdata.
Di dalam Pasal 1381 KUH Perdata ditentukan
10 (sepuluh) cara berakhirnya perjanjian penanggungan utang, yaitu pembayaran;
penawaran pembayaran tunai; diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
pembaruan utang; kompensasi; pencampuran utang; pembebasan utang; musnahnya
barang yang terutang; kebatalan atau pembatalan; dan berlakunya syarat
pembatalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar